Sumber Gambar: kidsnoecanada.org |
Kedua orang tuaku adalah anak pertama. Memiliki sifat pemimpin, kadang mendominasi. Perdebatan kecil maupun besar di rumah sudah seperti udara yang aku hirup. Dalam memberi perintah, ayahku bilang A, ibuku bilang B. Maka jika aku kerjakan A maka ibuku keberatan, demikian sebaliknya. Namun tidak selalu seperti itu, pada satu titik akan saling mengalah atau juga menggerutu. Dan saat ingat akan terus terang bilang “aylafyu”. Secara tidak langsung kami, anak- anaknya, dididik untuk mengungkapkan pikiran atau perasaan dengan jujur.
Aku anak ketiga dari 4 bersaudara, anak terkecil perempuan, dengan susunan abang tertua, kakak kedua, saya dan adik lelaki terkecil. Belakangan aku menyadari bahwa setiap kami memiliki sifat pemimpin masing- masing. Alhasil tidak mau diatur, suka mengatur, lalu siapa yang diatur jika semua mengatur? Semua marah, karena saat mengatur, tidak ada yang mau diatur. Percayalah, jika aku bertahan seatap lengkap dengan mereka dalam jangka waktu yang lama, kedua gendang telingaku berujung tidak selamat.
Demikian terlalu berisiknya, aku selalu undur diri ikut berisikin. Apalagi hirarki gender dan umur di rumah kami bisa aku bilang lumayan kental, taat budaya, sopan santun katanya. Abang sulungku adalah suara yang paling dipedulikan orangtuaku, berturut- turut ke bawah. Maka suara dan pendapatku nyaris tidak ada pengaruhnya –Perempuan yang paling muda! Toh tidak akan didengar mau sebesar apapun suaraku atau semenusuk apapun pendapatku saat mulut mereka berbicara terus. Aku beranggapan tidak ada orang yang bicara sambil mendengar dengan sempurna. Maka cara paling efektif dan tidak merugikan adalah aku memilih diam, walaupun otak di dalam tempurung kepalaku selalu penuh dengan celoteh mengkritisi ini itu. Tapi ketika kita tidak berhak bersuara itu menyakitkan! Dari titik inilah, terlahir Celoteh Ngoceh pada 2015.
Jauh sebelum aku hobi menganalisis fenomena terstrukur, setelah menelaah dan menyadari perilaku tersebut, dugaanku aku termasuk tipikal introvert terkendali sedari dulu.
Prasekolah, tidak banyak yang kuingat, pokoknya selalu bermain bersama abang dan kakakku. Waktu udah gede, ibuku kadang cerita satu- satu. Dulu aku pernah tersesat di swalayan. Aku ditemukan ibuku di pusat informasi swalayan, menikmati permen tangkai sambil nyanyi- nyanyi dengan orang dewasa di sana. Entah dilebihkan atau tidak, ibuku bilang begitu.
TK kecil, aku adalah anak gembul yang ceria dan banyak cerita. Saat aku menunggu di jemput sepulang sekolah, aku suka menikmati waktu bercerita dengan ibu guru atau dengan pak satpam. Aku juga bergaul baik dan sering main di sore hari bersama teman- teman tetangga rumah. Lalu kami pindah tempat tinggal menyebrang pulau, semacam transisi manis pahit ekonomi keluarga.
TK besar, lingkungan baru. Aku punya satu sahabat di sekolah BPK Penabur Bandar Lampung, Antik, seorang gadis cilik (badannya lebih cilik dari aku saat itu) berambut ikal. (Berharap di ujung dunia, ia membacanya. Hai, Apa Kabar?).
Masuk SD masih di sekolah yang sama, aku nyaris “tidak sekolah dahulu” di tahun itu karena anggaran pendidikan tidak mencukupi. Aku, kakak, dan abangku umurnya beda satu/ dua tahun, butuh biaya berlipat ganda. Saat kedua saudaraku sekolah, teman- teman TK-ku lanjut SD, pakai rok merah, aku di rumah bersama ibu dan adik kecil, tentu saja aku sedih. Tapi aku memutuskan untuk tidak cengeng, seakan baik- baik saja. Karena kalau tidak, yang ada keadaan malah makin buruk, ibu dan ayahku tidak bersalah, tidak pantas jika mereka yang menanggung kesedihanku lagi. Singkat cerita mujizat terjadi. Tring! Aku masuk sekolah di tengah semester berjalan! Pihak sekolah mengetahui kabar bahwa aku si murid TK yang ceria tidak melanjut sekolah. Biaya pendaftaran, seragam sekolah dan buku- buku ditanggung. (Rincian bantuan yang diberi tentu saja tidak aku ketahui. Aku mengetahuinya saat sudah cukup besar untuk ibuku menceritakannya) Wuw, Pakai rok merah!
Naik kelas 2 SD, kami pindah lagi lintas provinsi. Budaya yang sangat terbalik dengan yang dulu. Dahulu orang- orangnya lembut, sopan dan baik hati. Kini orang- orangnya kasar, ringan tangan, ringan mulut, makan banyak, celemotan, suka lari- lari. Kebalikan dari sifat yang kumiliki. Aku tumbuh menjadi gadis pendiam. Temanku sedari kelas 2 sampai 4 SD hanyalah teman sebangku dan teman yang duduknya di depan meja kami. 3 teman, setiap tahun ajaran. Kelas 5 aku mulai melirik peghuni tempat duduk di sebrang baris, mengagumi teman lelaki dalam hati. Kelas 6, lagi, aku sudah dekat dengan teman sebaris, 5 bangku, 9 orang! Peningkatan lah ya.
SMP aku pindah ke sekolah lain di kota yang sama, lingkungan dan orang baru. Masa Puber, aku sangat pendiam. Kekentalan sosialnya di sekolah ini tinggi, latar belakang budaya warga sekolahnya homogen, maka negosiasi juga tinggi. Sesuatu yang kulihat tidak berintegritas adalah hal mafhum di sini, gurunya merokok di kelas, budaya kerjasama saat ulangan. Teman- teman cantik yang berisik, guru- guru muda yang sok asik. Aku di sekolah yang sama dengan kakakku yang beda 2 tahun denganku, ia telah bersinar dan terkenal Aku tidak peduli nilaiku jelek, itu adalah nilai kejujuran. Aku selalu datang terlambat. Seperti berandal, namun pendiam. Seram. Dibanding- bandingkan dengan kakakku yang terkenal, aku semakin membangkang. . Aku malah tumbuh menjadi gadis penggerutu dan bau, jarang bersuara, misterius. Sampai baru sekali ini aku mendapat ranking 5 besar.. dari bawah (biasanya selalu dari atas). Ibuku menangis, ayahku diam, aku menyesal. Hengkang dari kelas unggulan, aku merenung sepanjang hari, berpikir, evaluasi diri, menghukum diri, masih dalam diam. Ternyata berintegritas itu bukan hanya tidak mencontek melainkan juga dengan belajar lebih keras melampaui mereka yang kurang berintegritas.
Masuk ke kelas 2 SMP, kakakku sudah SMA, ke sekolah lain. Aku memutuskan menjadi manusia baru. Ada Lonika Nainggolan, Desi Sagala, dan Gatricia Gulto, sobat karibku. Akhirnya ada lagi teman yang benar- benar teman sejak lama tidak punya. Maafkan aku yang kadang belagu, dan sempat lupa caranya bersahabat ya, we. Kadang kala aku menemukan diriku yang kasar kepada mereka yang baik hati. Huft.
Suatu waktu, wali kelas memaksaku ikut lomba pidato antar kelas sebagai perwakilan kelas kami yang diselenggarakan sekolah tiap tahun. Aku tidak percaya diri sama sekali, tapi tidak bisa menolak. Ibu wali kelas tidak menawarkan, ia memberi perintah atas keikutsertaanku. Lalu, ternyata aku Juara, Haha. Dipanggil saat upacara bendera, diapresiasi, dikasih hadiah. Aku bahagia, semakin percaya dengan diri.
Dan di kelas 2 SMP ini aku juga menjadi juara kelas. Apresiasi di sekolah ini amat tinggi, juara kelas pun dipanggil ke depan beserta orang tua, disaksikan seluruh orang tua lainnya. Yang mengambil rapor harus orang tua/ wali. Inilah pencapaian yang aku ingin balaskan kepada orang tuaku. Momen yang kutunggu- tunggu. Kebanggaan untuk mereka yang aku buat menangis dulu. Namun, Tuhan berkata lain. Ayah maupun ibuku tidak bisa hadir karena bekerja di hari itu. Ibu tetangga yang anaknya satu sekolah denganku, dimandatkan ibuku untuk mengambil raporku. Aku bertekad menahan gejolak hati saat berangkat, namun aku gagal dan tangisku pecah saat orangtuaku diundang untuk ke depan. Seharusnya ibuku yang berdiri disampingku difoto di angka 1 ini.
Kelas 3 SMP aku dipindahkelaskan lagi ke kelas unggulan. Namun kelas unggulan yang berbeda dengan kelas unggulan saat aku kelas 1 SMP kemarin. Pak L. Fau, guru biologi yang sangat berdedikasi. Membuatku cinta pada makhluk hidup. Ia tidak hanya mengajar tapi juga mendidik dan menginspirasi. Selalu rendah hati memperbolehkan kita bertanya di setiap jeda. “Ada yang mau bertanya?” Aku sangat ingin bertanya, tapi takut. Tapi mau nanya. Tapi takut! Ia mungkin melihatku, “Tidak ada pertanyaan yang buruk, kita kan belajar.” Aku menyerah, aku tunjuk tangan, aku bertanya, gemetar hebat tentu saja. Aku mendapat jawaban. Aku sumringah. Mulai saat itu aku tidak sungkan bertanya.
Pelajaran Sejarah, kenegaraan, presentasi, menanggapi. Di kelas unggulan yang ini semuanya menanggapi untuk memperoleh pengetahuan, bukan kompetisi nilai semata, semuanya baik hati. Suatu saat, ada sebuah perdebatan (aku masih ingat) tentang kenapa Singapura memisahkan diri jadi negara berdiri sendiri. Kedua pihak bersikukuh. Sampai membentuk 2 kubu antara setuju dan tidak setuju. Ibu Guru, entahlah, hanya menengahi tanpa memberi solusi akan perdebatan pengetahuan ini. Aku tidak bersuara dan mengamati sampai aku menemukan ujung perdebatan ini, kedua kubu sudah pada titik mengulang opini yang sudah dipaparkan masing- masing. Aku tunjuk tangan di tengah suasana yang panas, semua mendengarkan. “Sebenarnya ini hanya persoalan Bahasa. A menyebut ini adalah ini, B menyebut itu adalah ini. Karena ini makanya itu. Sebenarnya ini semua sejalan. Sehingga kesimpulannya adalah: Singapura berdiri sendiri karena hasrat ini yaitu dengan cara itu. Kedua- duanya benar.” Setelah senyap beberapa detik, sontak sekelas berteriak tepuk tangan. Aku tersipu malu, seberdampak inikah, aku bertanya dalam hati. Sejak saat itu, setiap ada sesi belajar kelompok, teman- teman yang mengundangku duluan menjadi bagian kelompoknya.
Asal Muasal Sifat Introversi pada Diri
Demikian secuil muasal sifat introversi yang aku punya. Mungkin teman kuliahku tidak percaya bahwa aku berasal dari seorang yang pendiam. Dan teman SMP-ku tidak percaya bahwa aku yang sekarang adalah orang yang sama dengan aku yang dulu. Tidak ada yang stagnan, perubahan selalu terjadi jika kita memberi diri untuk ditempa.
Langkah pertama adalah penerimaan diri melalui pengenalan dan pemahaman diri.
Secara objektif, telaah, selidiki dan sadari apa dan bagaimana latar belakang sifat introversi kita ini dapat terbentuk. Introversi dan kepribadian kita saat ini adalah hasil sebuah proses; nature dan nurture –bawaan dan asuhan alias genotip dan fenotip, bukannya tiba- tiba ada lalu mengutuk diri tidak terima.
Bukan untuk diubah, melainkan untuk dikenali, dipahami, diposisikan, dikembangkan dan diperlakukan dengan tepat. Introversi adalah sebuah keunggulan ketika kita telah mengenali dan memahaminya. Sebelum mengembangkannya, pelajari dan pahami asal muasal sifat introversi itu. Dengan kelebihan kita yang suka berpikir, sesungguhnya kita sangat bisa mengulas balik perjalanan pertumbuhan kita, mengidentifikasi dari mana asalnya, apa alasan, latar belakang sehingga kita hobi ini, minat itu, sifat yang ini, sifat yang itu, suka makanan ini dan itu. Semuanya dapat ditelaah sendiri yang akhirnya seperti titik- titik yang saling berhubungan sehingga membentuk diri kita yang sekarang. Maka aku peringatkan, bersiaplah takjub akan kehidupanmu.
Namun tahukah teman, aku juga masih mempelajari diri. Belum semua dalam anggota keluarga kami percaya bahwa aku adalah orang yang gesit dan aktif di lingkungan luar, teman- teman di luar pergaulan akrabku tidak percaya kalau aku adalah orang yang memiliki sejuta ekspresi wajah. Begitupun lingkungan perkuliahanku yang tidak percaya bahwa aku adalah seorang yang bungkam saat aku bersama abang sulungku dan seorang berwajah datar di luar pergaulan akrabku.
Aku percaya, pemahaman diri berperan dalam penempatan diri untuk memaksimalkan nilai- nilai baik yang dapat kita sampaikan selagi menjadi manusia. Dalam hal ini, pola perilaku kita pun sangat dapat kita telaah sendiri mengapa kita enggan terbuka pada seseorang itu namun sangat bisa heboh dan ceria ketika bersama seorang yang lain. Semua ada penyebabnya.
0 Comments