Kemiskinan Waktu

Setiap orang itu miskin dalam segi yang berbeda- beda. Dan setiap kemiskinan itu punya segi keprihatinan masing- masing. Karena tidak beruntung saja, kemiskinan materi yang paling mencolok untuk dinilai orang- orang. Betapa tidak, nyatanya orang- orang cepat tanggap pada indra penglihatan.

Maka dari itu kali ini Celoteh Ngoceh membahas yang paling tak kasat mata –Kemiskinan waktu.

Tidak seperti materi yang dengan mudahnya dapat diukur secara kuantitatif, waktu hanya dapat diukur dengan kesadaran masing- masing pemiliknya secara kuantitatif maupun kualitatif. Mungkin sepintas kita bertanya, “Bukankah setiap orang ‘mempunyai’ waktu yang sama banyak, yakni 24 jam sehari?”

Dari pertanyaan ini mari kita bertolak.



Detak Jam yang Menghantui

Dalam kuantitas waktu yang sama pada setiap orang, selama 24 jam ini ada yang terburu- buru dan membutuhkan waktu lebih untuk menyelesaikan aktifitasnya, ada yang pas dan puas dengan proporsinya, juga ada yang santai dan merasa waktu yang dimilikinya berlebih, bahkan menginginkan waktu cepat berlalu untuk ke hari esok. Ketiga kondisi itu diukur secara relatif.

Pada hakikatnya, semakin kita memahami dimensi waktu, semakin kita mengerti bahwa tidak ada yang terlalu cepat dan tidak ada yang terlalu lambat pula. Penemuan sistem waktu yang terukur secara sistematis (1 tahun= 12 bulan; 1 bulan= 30 hari; 1 hari= 24 jam; 1 jam= 60 menit; 1 menit= 60 detik) adalah alat yang membantu kesadaran akan waktu, namun juga alat yang dapat menumpulkan kesadaran akan waktu itu sendiri.

Menurut Hardiman (2003), menakar waktu dengan ukuran obyektif berarti mencabut waktu dari konteks penghayatan dan mengabstraksikannya sebagai sesuatu yang terkalkulasi. Begitu terkalkulasi, waktu menjadi sumber daya, tetapi bersamaan dengan itu juga bisa habis. Mata yang "memetik" waktu dari pelat arloji membisikkan keyakinannya kepada pelihatnya bahwa waktu itu bisa cepat habis jika tidak dipakai. Pada titik inilah eskalasi kegelisahan dimulai. Dengan memakainya, orang merasa telah memiliki waktu, padahal yang sebaliknya terjadi: waktu telah memilikinya.

Bila saja sistematis waktu yang diangkakan tersebut tidak ditemukan, sebuah peristiwa ataupun aktifitas tidak kita ukur- ukur. Tidak menjadi persoalan dan pemikiran hal itu cepat atau lambat. Ketika anda tidak mempersoalkan durasi atau umur sesuatu, anda akan menikmati setiap kejadian. (Baca The Time Keeper oleh Mitch Albom)

Bayangkan saja kita ada di dunia yang buta waktu, hanya ada matahari dan bulan sebagai patokan. Kita tak akan khawatir namun kebingungan. Bisa jadi terasa hampa dan linglung dengan yang berlalu dan akan datang. Ingin atur waktu bertemu, atur jadwal, batas waktu atau semacamnya, bagaimana mempatoknya, kan? Ya, tidak jauh beda dengan dunia binatang sih sebenarnya. Tentu saja di satu sisi aku pun tidak menyangkal bahwa sistem pengukuran waktu itu esensial dalam kehidupan supaya kronologis.

Secara sadar kita bisa mengatur dan ‘memimpin’ waktu, menciptakan keteraturan dan disiplin diri yang seru bersama waktu.


Waktu adalah pembunuh terkejam juga sahabat terbaik. Tergantung kita menjadikannya apa.


Hidup Adalah Perlombaan?

Tentu saja khawatir. Life is a race. Ketika di tahun itu kita melihat teman- teman bersekolah dan kitanya tidak, ketika teman- teman sudah melepas lajang, mengirimkan undangan dan kita menemukan pasangan pun belum, ketika kolega duluan mencapai target, kita yang bersusah payah belum mencapai itu, perasaan ketinggalan, khawatir, ketakutan, all about baper itu pasti ada dan wajar.

Nah, pernah tidak berempati kepada kakek-nenek yang berumur 70 ke atas? Kalau masih khawatir dengan ‘perlombaan’ pendidikan, karir, atau asmara dengan orang lain dan berupaya untuk mengejar ketertinggalan, kaum tua khawatir dijemput malaikat maut di penghujung jalan dan barangkali berupaya mundur kalau bisa. Bayangkan ketika teman-teman kita satu per satu dijemput Yang Esa, alih- alih menerima undangan perkawinan yang membuat kita merasa tertinggal, mereka menerima kabar kematian yang membuat mereka merasa ingin melarikan diri. 

Bayangkan kalau kita adalah seorang renta yang tersisa di keluarga inti. Adik perempuan dari keluarga mendiang kakekku ada di posisi itu. Dan aku tentu saja tidak tahu apa yang ada di benak beliau. Dari cahaya matanya, kusimpulkan ada sebuah yang lebih daripada ketegaran –keikhlasan dan kedamaian. Jangankan ketegaran.. apalagi ketakutan, yang ada malah keikhlasan dan kedamaian!

Begini, kesadaran dalam pemaknaan menikmati waktu sangat indah buahnya, dan biasanya baru dimengerti ketika sudah tua, istilahnya ketika perjalanan hampir usai. Saya hanya berpikir betapa serunya bila kesadaran itu dimiliki sedari muda, ketika perjalanan masih panjang di depan mata.
   
Coba tonton  proyek sosial, interview pertanyaan yang sama tentang waktu kepada orang-orang dengan umur yang beragam, sebuah video pada jubilee project ini.

Kemiskinan Waktu

Aku bukan orang yang berpengalaman dari teman-teman, ya. Umurku belum lebih dari 19 tahun saat menulis ini. Aku cuma remaja belia yang mengamat, membaca dan melamun, yang ingin memaparkan sebatas pemahaman.

Kuantitas harian setiap orang sama, diberikan 24 jam sehari, namun kuantitas total umur yang diberikan tentu saja berbeda -Misteri yang tak perlu dipersoalkan. Kemiskinan waktu bukanlah orang yang berumur pendek kalau misal kita menduga orang yang miskin waktu adalah yang telah divonis penyakit atau yang dilanda kemalangan.


Kita tidak dapat menentukan kuantitas waktu, tapi tidak dengan kualitas waktunya.

Jadi, apa itu kemiskinan waktu? Adalah kemiskinan kualitas waktu. Mungkin kita ‘penurut’ dan ‘seru’ dengan karir, kegiatan organisasi atau kegiatan ambisius lainnya, kita cukup hebat dalam perencanaan waktu; atur timeline dan deadline yang mantap, tidak ada lagi yang kurang, hingga kita sadar yang duniawi itu tidak akan berarti apa-apa ketika kita kehilangan orang yang kita sayangi atau pun ketika kita kehilangan nyawa kita sendiri. Yap, aku menyebutnya “Lupa Rumah”.

Pemaknaan Waktu

Kita bisa, mampu, dan sedia diri untuk urusan kantor atau kampus, tapi untuk keluarga kok tidak? Siapa yang lebih pantas menikmati kehadiran diri, orang asing atau keluarga? Bukan berarti kita tidak kerja, lantas dirumah, ya. Tidak segamblang itu -_- Yang kumaksud: sertakan keluarga pada timeline-mu, pada kalender, pada notesmu.

Lakukan hal yang membuatmu bersyukur telah melakukannya. Jangan lewatkan hal yang seharusnya kita lakukan dan menyesal tidak melakukannya.

Kita bisa menyediakan diri dalam aktivitas luar selama beberapa minggu, dan pulang ke rumah selama beberapa hari. Apa salahnya mengatur prioritas berkala?

Mungkin kita bisa menepis keperluan lain selain karir dan kampus (misalnya) di hari kerja, apa salahnya menepis keperluan lain selain keluarga di akhir pekan? 

Mungkin kita memiliki peran dan tanggung jawab yang dibutuhkan dalam suatu organisasi, rumah di luar kota, ya mengapa tidak pulang untuk sebulan sekali atau juga 2 bulan sekali. Sekali pulang katakanlah 3 hari (Jumat, Sabtu, Minggu) 3: 27 hari untuk sebulan atau 3: 58 hari untuk 2 bulan (bulan I terdiri dari 30 hari dan II 31 hari), tidak sulit kok bila mau. 3: 58, belum maukah menyediakan 3 hari saja untuk keluarga dibanding 58 hari untuk orang asing? 
Khairos –waktu terus bergulir dan jangan berharap bisa diulang.

Tidak, aku tidak menilai apalagi mengintimidasi. Sesungguhnya menulis ini aku sedang menegur diri sendiri.

Semoga kamu juga.



YOLO! Have a nice Time!

Post a Comment

0 Comments