Berdiri di Persimpangan Menuju Pulih atau Mati

Walaupun lobus frontal berhenti tumbuh di umur 25, meskipun regulasi emosi dididik ketika balita, tetap orang dewasa terus belajar cara menempatkan diri, menghadapi orang lain, bagaimana membawa diri, dan memosisikan orang lain.

Photo by Misael Garcia

Tahapan usia bekerja jadi babak baru setelah usia kuliah, seperti halnya dulu pertama kuliah setelah nyaman sekolah menengah. Pun seperti dulu meninggalkan lingkungan dan cara lama, untuk melangkah ke lingkungan dengan caranya yang baru.

Ingat saja dulu kuliah, jadi pendatang baru lagi ketika sedang nikmat-nikmatnya berteman bersekolah. Pun bekerja jadi junior lagi setelah sudah sepuh-sepuhnya berselancar berjejaring di perkuliahan. Tapi kan dulu sebelum nikmat-nikmatnya, juga yangpernah takut-takutnya berteman dengan orang baru di sekolah baru kan? Galau-galaunya mau pilih jurusan seolah krusial dan penentu hidup. Pun bekerja di kota asing, akan jadi familiar kalau dijalanin.

Sabar, ada waktunya. Butuh waktu berproses.

Seru ya kalau ingat yang dulu-dulu, soalnya sekarang lagi tidak suka menjalani hari dan menghadapi konflik-konfliknya. Padahal, kita yang sedang menjalani dulu-dulu itu juga kondisi tidak suka dan pikir seru ya kalau ingat yang dulu-dulunya dulu-dulu.

Kecenderungannya memang begitu, hal yang sudah dilalui enak untuk ditonton. Semoga dengan menoleh, bahkan berbalik lihat ke belakang, buat kita bersyukur dan sadar: Pernah loh, bisa ya, itu lewat tuh. Terus hadap depan dan jalan lagi dengan harapan.

 

DATANG TANPA GAMBARAN

Aku versi lulusan baru mudah tersandung, sesekali terjungkal. Rentan karena semangat-semangatnya mau melakukan yang tertahan. Bekalnya udah gendut di tas ransel, udah kekumpul banyak saat kuliah. Pengen dikeluarin semua, maunya bisa digunakan langsung.

Persis kayak baru beli perkakas baru, pulang sampai rumah udah buru-buru buka kemasan dan otak-atik fiturnya dicoba pakai. Sabar, ada waktunya. Butuh waktu berproses.

Setelah cinta-cintanya, lahap-lahapnya belajar dan menerapkan, lalu patah hati dengan lingkungan yang tidak ideal di Perusahaan pertama tempat bekerja. Berat hati sekali, lama menimbang memutuskan, aku putuskan untuk keluar.

Yang tidak ideal dirindukan terjadi di cinta pertamaku, ada dan ideal di cinta keduaku. Tapi aku versi itu tidak pernah sangka bahwa di perusahaan berikutnya ini, punya ketidakidealan versinya sendiri juga. Pas sedih-sedihnya, lelah-lelahnya, sudah pasti aku yang itu bernostalgia merindukan indah-indahnya Perusahaan pertama. 

Nah yang diingat-ingat kenangan yang indah-indahnya, padahal mah sepaket ada buruk-buruknya juga sampai dulu berani memutuskan keluar karena memang pertimbangan buruk-buruknya lebih ada daripada baik-baiknya. Aku yang lelah itu mungkin sedang butuh endorfin saja, maka bernostalgia yang indahnya.

Kalaulah disadari dan bernostalgia buruknya, kan kelihatan kondisi baiknya yang di saat lelah itu.

Tidak apa. Aku yang sekarang maklum dengan aku yang itu. Manusia sudah naturnya memahami kondisi, menakar situasi dengan perbandingan. Sebuah penghapus kurang bisa dipahami ukurannya besar atau kecil tanpa ada perbandingan penghapus yang lain ukurannya seberapa besar atau kecil daripada yang ini. Seiris kue kurang bisa dimengerti rasa manisnya kemanisan atau cukup tanpa ada perbandingan kue lain rasanya bagaimana.

Di umur dua puluhan awal, koleksi kondisi cukup bervariasi dan banyak. Untuk pahami kondisi baru yang melelahkan, perbandingannya ada banyak, mesti kita pilih yang mana satu nih. Sejauh pemahamanku mempelajari diriku yang dulu sih:

Akunya saat itu pilih koleksi yang kuinginkan untuk jadi perbandingannya.

Saat itu aku kecewa bertubi-tubi ditimpa kelelahan yang berlapis-lapis. Aku ingin memembuktikan dalam batin bahwa aku itu kecewa dan lelah benar, bahwa kondisi ini pastilah tidak baik.. dengan memilih koleksi yang sebaliknya. Yap, yang indah-indah. 

Jadilah diriku esok hari berangkat kerja semakin lesu, karena mengamini kondisinya betul buruk, benar adanya mengecewakan dan melelahkan. Semacam tipuan subjektif kepada diri sendiri.

Pun ada masanya, ketika aku lelah berada dalam keadaan lelah, aku ingin semangat -keluar dari keadaan lelah. Maka aku memilih koleksi kenangan yang buruk-buruk sebagai perbandingannya, mengamini bahwa kondisinya tidak seburuk itu ternyata.

Memang ada masanya Si Aku mencintai tragedi. Bikin kolase Kumpulan yang sedih-sedih. Aku Si Sedih. Aku Si Menderita.


KEHENDAK BEBAS

Selain memang ada idealisme yang tidak terwadahi di tempat kerja, secara psikologis dan lingkungan memang tidak memenuhi kebutuhan bertahan hidup juga. Ini aku yang sekarang loh nih yang udah bisa menyimpulkan:

1.     Tinggal di kota Jakarta lalu lintas padat huru-hara. Budaya kerja sedikit interaksi. Tipikal gedung kantor sempit 8 lantai, jendela ditutup tirai, dingin AC sepanjang hari.

2.      Kosan yang tidak banyak pilihan, hampir semuanya punya kesamaan: untuk membuat bangunan model banyak kamar dengan keterbatasan lahan, dibangun secara bertingkat. Tidak banyak ruang gerak, sedikit jendela. Kamarku di lantai 4, dapur di lantai 1. Selasar, tangga sempit.

3.      Mulai kerja jam 8 pagi, pulang jam 8 malam. Minim hampir tak pernah kena sinar matahari. Sabtu Minggu berkesempatan libur tidak menikmati matahari maksimal lagi karena Senin-Jumat sudah lelah hayati juga.

Pergerakan tubuh sedikit, provitamin D tidak dipecah sinar matahari, karakter diri yang suka berkreasi dan beraktivitas memenuhi dalam kebutuhan (aku lebih suka masak, pilih dan kreasi bahan sendiri sesuai keinginan daripada beli makan) tidak terpenuhi. Karakterku yang suka berteman berinteraksi dengan teman, hewan, dan tumbuhan sama sekali tidak terfasilitasi, dan juga karakterku yang suka mengadakan waktu observasi dan melamun (apakah dengan jalan kaki mengamati orang-orang lain berinteraksi, melihat pemandangan atau karya sungguh tak cocok dengan kondisi bangunan tempat tinggal maupun tempat kerja.

Kesempatan berteman ada di luar jam kerja. Tapi tubuh dan pikiran tidak bisa bohong, ia tak bertenaga lagi. Berkali-kali melawan diri dan bertemu teman di luar kantor luar jam kerja, tidak jadi lebih baik juga. Kalau diingat-ingat sekarang, menyedihkan sekali. Luar biasa aku bisa bertahan sekian bulan menjalani pola yang berlawanan dengan natur diri.

Kalau dilanjutkan terus lingkungan hidup seperti itu sepertinya aku positif akan tewas.

Aku percaya, tidak semua orang punya privilese untuk memilih dan menjalankan kehendak. Aku bersyukur punya pilihan dan keberanian untuk bertahan hidup, keluar dari lingkaran pola lingkungan seharusnya bukan tempatku berada. Saat itu aku memilih berani untuk pindah dalam keadaan tidak menyadari kondisi-kondisi yang aku sebutkan tadi.

Teman terdekat, keluarga, kerabat, setiap aku bercerita keluh kesah mereka yakin bahwa itu cuma di awal, meyakinkanku bahwa lingkunganku baik-baik saja untuk dilanjutkan, menyarankan untuk tidak mengikuti keinginan/keputusan yang menurut orang-orang yang menyayangiku adalah sebuah impulsifitas.

Aku bersyukur memiliki orang-orang yang peduli dan menyayangiku. Saran dan pandangan mereka tentu karena hal yang menurut mereka baik. Namun mereka yang mengasihi belum tentu paham, dan tidak harus kita tuntut untuk memahami diri kita. Kita yang sebaiknya menuntut diri untuk memahami diri sendiri. Berdasarkan iman yang kuyakini, tubuh adalah bait Allah -yang memiliki dan bersama dengan tubuh ini setiap detiknya, setiap detaknya adalah diri kita sendiri.

Tapi pun sangat wajar jika kita terjerat dalam kondisi yang menekan, tidak bisa dengan sadar (conscious) memahami diri sendiri dan kondisi dengan objektif. Aku tidak sebegitu kenal diriku dan tidak mengerti kondisi ketidaknyamanan itu saat aku memutuskan keluar, sampai aku pindah ke perusahaan berikutnya lagi pun. Itu aku putuskan dengan keyakinan saja, bahwa aku tidak bisa melanjutkan lebih lama lagi. Untungnya masih ada suara hati yang menyimpulkan untuk mengakhiri pola kondisinya, bukan mengakhiri hidup.

Aku yang sekarang menyesal juga kenapa dulu tidak aku minta bantuan profesional untuk memperlihatkan kondisi-kondisi itu. Tapi aku bersyukur masih dihidupi oleh akal sehat yang tersisa sedikit untuk ambil Keputusan besar saat itu.


BERTUMBUH DAN BERKEMBANG

Aku yang sudah cukup bercengkrama dengan matahari, berinteraksi dengan keramahtamahan orang-orang, kerja di open table dengan kordinasi dan komunikasi lisan yang interaktif, belanja bahan pokok dan memasak makan malam sendiri, menanam tetumbuhan dan melamuni mereka setiap melamun mengolah perasaan, punya jendela lebar dan pintu yang menghadap timur matahari terbit, memampukanku untuk berpikir dan memiliki kesadaran ini.

Seberapa sering berpindah, tetap tidak membuatku terbiasa menghadapi kekhawatiran akan ketidakpastian. Hanya saja aku punya keberanian dan kepercayaan diri di samping mengantongi khawatir dan ketidakmudahan itu hehe -modal yang sangat kuat yang dengan yakin berhasil dibentuk ayah, abang, adik, kakak, dan ibuku. Terima Kasih.

Di perusahaan dan lingkungan yang ketiga ini, lagi, punya ketidakidealan versinya sendiri. Sama-sama menghadapi tantangan beradaptasi, tantangan olah pikir dan olah rasa cara bertahan hidup di kondisi ketidakidealan, bagaimana menata tujuan dan kemauan worth untuk dipertahankan atau tidak, masih sama seperti itu. Namun dihadapi oleh diriku yang tidak sama, yang sudah lebih mengerti untuk menerima dan mau memahami terlebih dahulu sebelum buru-buru menyimpulkan sesuatu baik atau tidak baik berdasarkan konteks. Terima kasih diriku yang sekarang sudah mau sabar dan percaya ada waktunya, yakin bahwa ini bagian dari proses.

Menurut kepercayaanku, tempat bekerja juga salah satu tanggung jawab pelayanan hidup. Maka, saat di kondisi yang tidak nyaman, kecewa, dan kesal akibat kondisi dan konflik kerja, aku berusaha memfasilitasi diriku, memenuhi kebutuhanku, memulihkan diriku dengan sumber daya yang kupunya untuk dapat berkarya maksimal dan melayani sesama di tempat kerja dengan sebaik-baiknya.

Ketika sedih aku tidak menghindar, aku yang sekarang akan meletakkan ponsel dan membiarkan diri untuk merasakan apa yang sedang dirasa. Ketika aku sedih, aku menghibur diriku dengan masak masakan yang akan menyenangkan mulut dan sehat bagi perutku.

Tetanamanku selalu bawa kejutan baru tiap aku pulang “perang”, sekali waktu dia menumbuhkan bunga yang tak kusadari kuncupnya pernah ada. Saat aku tenggelam dalam sedih dan kecewa, sekali waktu juga sahabat-sahabat meneleponku di saat yang paling tepat. Aku punya keluarga yang dapat ditemui, bermain dengan ponakan tersayang, berjalan-jalan ke museum dengan abangku yang belum menikah, bertelepon dengan ibu ayahku.

Aku tidak pernah dibiarkan sendiri. Aku juga dimampukan untuk hadir penuh (hati dan pikiran) saat bersama dengan orang lain. Maka dalam hal ini, tak ada cara yang cukup untuk berterima kasih kepada Tuhanku.

Mengetik kisah ini aku juga sedang dalam keadaan jenuh pada kondisi buruk yang kayaknya tidak tertolong dengan upaya Tunggal (harus bersama-sama, yang tidak bisa terjadi) di tempat kerjaku yang sekarang. Ini lagi mempertimbangkan kembali prioritas dan menimbang hal-hal baik dan buruk yang ditinggalkan kalau aku pindah dan mengukur risiko tempat baru yang tak pernah tahu bagaimana keadaannya nanti, nih.

 

 

 

Post a Comment

0 Comments