Buku-buku dan karya tulis prosa tidak disensor seperti film/siaran oleh Lembaga Sensor atau Komisi Penyiaran Indonesia. Editor sastra hanya memeriksa ejaan, kaidah sesuai PUEBI (update dari EYD) yang berlaku, menyarankan diksi (pilihan kata) yang lebih tepat, susunan alur pengembangan yang fokus, dan ritme bagaimana ide cerita sebaiknya dinarasikan; memberi perspektif objektif mengenai karya agar relevan dikonsumsi konsumennya.
Tapi novel-novel yang
disebarluaskan tidak mengakibatkan kerusuhan sosial. Riwayat dan informasi mengenai
pencetakan ditulis pada halaman pertama sebelum karya diceritakan (yang
disebut Katalog dalam Terbitan). Ia juga dengan jelas menyatakan “Buku ini
sebaiknya dibaca oleh pembaca umur berapa” di bawah barcode sampul belakang.
Sekali lagi, tanpa sensor.
Ya, kalau jaman 1920-an karya
sastra ada lembaga sensornya. Bahkan karya bisa diputuskan untuk tidak
diterbitkan oleh lembaga sensor buku “Balai Pustaka” pada masa kolonial. Untungnya
kemerdekaan Indonesia membawa kemerdekaan literasi bagi rakyat Indonesia juga.
Novel pertamaku sebuah novel
remaja terjemahan berjudul “Tall, Thin, and Blonde” oleh Dyan Sheldon, yaitu saat
kelas 5 SD, sekitar umur 10 atau 11 tahun mungkin. Masih dalam ingatan; plot
cerita sederhana mengenai kehidupan remaja berlatar budaya negara bagian barat.
Tokoh utama adalah aktivis lingkungan di sekolahnya, menentang praktik laboratorium
membedah katak. Ia dan sahabatnya yang semula adalah remaja lugu tanpa peduli
penampilan dan pergaulan, salah satu di antara mereka jadi populer dan memenuhi
standar “Anak Gaul” di sekolahnya. Sahabat gaul jadi memiliki kisah asmaranya
sendiri, sedangkan temannya yang lain tidak dan mereka tidak lagi akrab seperti
dulu.
Kemudian sampai SMP, terobsesi
membaca dan melengkapi koleksi serial novel-novel fiksi fantasi oleh Rick
Riordan tentang anak-anak Demigod mitologi Yunani dan Romawi. Juga “Eclipse”,
novel serial Twilight ketiga oleh Stepahnie Meyer kuselesaikan saat kelas
2 SMP. Ada satu fiksi sains yang aku lupa judulnya namun memperkenalkanku pada
dimensi waktu dan teori dasar fisika kuantum -yang saat itu memberiku
pertimbangan apakah sebaiknya menjalani hidup membiara tidak menikah. haha
Bacaan memberiku kata kunci yang
sebelumnya aku tidak tahu, untuk kupakai browsing. Maka Google adalah sahabatku
(saat itu masa-masa facebook sedang booming ya setelah Friendster),
mengantarkanku pada referensi bacaan dan kata kunci lainnya. Seperti travelling,
ada banyak pintu tertutup yang aku belum pernah buka, dan kuncinya berawal dari
buku. Bahkan ada banyak pintu yang aku tidak tahu ternyata ada pintu. Keren!
Photo by Ketut Subiyanto |
Ketika aku bertualang di negeri
cerita yang membawaku menyelam ke laut terdalam fakta dan sejarah serta
menerbangkanku ke antartika sampai luar angkasa, kehidupan keluargaku terlihat
kolot dan aku tidak mau mencampurinya sama sekali. Aku mengamati, menilai, dan
menerapkan cara hidup yang tidak mau seperti mereka.
Bagaimana kakak perempuanku yang
sibuk bertemanan dan berpacaran di masa SMP dan SMA-nya, kakak laki-lakiku yang
hits nongkrong bersama anak gaul. Saat itu aku menganggap mereka dungu (maaf),
keren di luar tapi tak punya nilai baik -tidak tau sopan santun kepada orang tua di rumah. Berandal
dan bodoh, mengabaikan apa yang penting dan mengusahakan apa yang tak penting,
melewatkan orang-orang yang layak dipentingkan dan mengusahakan orang-orang
yang aku juga tidak tahu apa pentingnya.
Kebanyakan waktu mereka ada di
sekolah dan pergaulannya. Sepertinya rumah cuma tempat mereka makan dan tidur,
aku juga tidak tahu kapan mereka mengerjakan PR dan apakah di sekolah mereka tidak
pernah ada ujian?
Oleh karena kehidupan mereka yang
terlalu riweh, setiap momen bersama yang langka menjadi koleksi emas yang
kusimpan di dalam peti harta karun yang kuletakkan spesial di satu kamar
hatiku:
Ketika aku dan kakak perempuanku
bersama menunggu jemputan pulang setelah les praktik musik bersama, bagaimana kami
bergosip tentang killer-nya guru musik kami yang misterius, anak perempuan
unggul yang terlalu cantik di tempat les teori musik, dan bagaimana terbelakangnya salah satu teman musik kami.
Saat kakak laki-lakiku diberi
motor untuk berkendara ke sekolah, aku dan dia yang sama-sama telat berangkat. Ia
memutar sedikit lebih jauh kalau mengantarku ke sekolahku dahulu. Aku menyukai
perjalanan kami yang terburu-buru itu dan bagaimana ia minta maaf menurunkanku
di simpang sekolah karena butuh waktu harus memutar lagi menuju sekolahnya. Kalau
kami tidak terlambat dia menurunkan aku tepat di depan gerbang sekolah. Tapi seringnya
kami terlambat, heheheh. Dan setiap terlambat itu seru, rasanya seperti ada di dalam
game mode time trial.
Aku juga menyukai saat adik dan
kakak laki-lakiku bermain game PC bersama, membuatku juga ikut bermain sebagai
anak bawang. Walau seringnya kalah, aku juga pernah menang benaran main DOTA
versi awal dan PES 2013 dengan joystick bersama mereka.
Tunggu,
tadi aku cerita tentang lembaga
sensor dan sastra, kenapa, ya?
Haih. Maaf, menulis tanpa editor
membuatku bercerita kemana-mana.
Karena tidak semua orang membaca
seperti banyaknya orang yang menonton, ada banyak narasi fiksi yang menceritakan
kejelekan realita masyarakat nyata tanpa tabu, tanpa sensor, dan tanpa pemotongan
adegan sehingga esensi kisah dan amanat yang ingin disampaikan penulis dapat
diterima dan dicerna oleh pembaca secara lengkap.
Narasi tulis menggambarkan dengan
utuh bagaimana tokoh-tokohnya berpikir, merasa, bertindak, bertutur,
berkonflik, jatuh cinta, marah, bingung, canggung, malu, dendam, prihatin,
miris, geli, bahagia. Narasi juga menceritakan dengan jelas bagaimana
tokoh-tokohnya berinteraksi sampai berhubungan intim. Meski di sampul dituliskan
“Remaja” aku rasa hanya remaja terpilih yang mau membeli dan membaca buku, dan
cukup terkualifikasi untuk mengkonsumsi adegan yang menurutku cukup dewasa
untuk dicerna remaja awam.
Aku terpapar adegan ciuman pada buku pertamaku di kelas 5 SD. Sejak itu aku menyadari ternyata aku
punya tubuh yang bukan hanya fungsional untuk mencerna makanan, metabolime
enerji, memompa darah, tapi juga estetika
dan dapat berekspresi dan berkomunikasi dengan sesama makhluk.
Konflik suami istri di serial Twilight tentang cinta terlarang manusia dan vampir menggambarkan peliknya sesama
makhluk yang jatuh cinta tidak cukup untuk menikah karena adanya latar belakang
dan identitas keluarga yang berbeda, berakibat sulit menyatukan visi dalam
menjalani hidup bahkan dalam mengambil keputusan sehari-hari.
Masa SMA, melalui buku Agnes
Jessica aku merasakan pedihnya warga keturunan Belanda yang dijadikan budak
seks pada masa kekuasaan Jepang di Indonesia -Fujinkai. Yang kemudian isu yang
sama berlanjut kurenungi dengan sudut pandang
liar lainnya dari buku Eka Kurniawan “Cantik itu Luka” yang sedang kubaca
akhir-akhir ini.
Aroma Karsa oleh Dewi Lestari selain
mengungkap magisnya dunia aroma, ia juga menceritakan bagaimana praktik
perselingkuhan terjadi dari sudut pandang pelaku. Tarian Bumi oleh Oka Rusmini menyatakan dengan berani cacatnya patriarki Budaya Adat Bali. Belum
lagi Lalita karya Ayu Utami, yang akupun tak sanggup untuk menyelesaikannya saking
beraninya ia mengumbar konflik dari perspektif erotis. Seram.
Pun demikian mereka tidak dihukum
sosial, dikecam, apalagi dibatalkan hak menulisnya oleh karena pembangkangan heroik
menyatakan hal yang selama ini tersembunyi.
Semakin menapaki usia dewasa, aku
semakin mengakui bahwa semakin aman jika kita merahasiakan segala sesuatu yang
terjadi. Aku semakin mengerti jika korban tidak punya pilihan yang lebih baik dari
menyimpan kepahitannya sendiri.
Aku sedang berbicara tentang manusia
di Indonesia dalam fungsinya yang terbatas di atap rumahnya sendiri. Aku paham ketika
melakukan aktivitas relawan dan berkarya secara sosial dikecam tidak ada
gunanya oleh orang-orang terdekat di sekitarku. Urusan domestik kita saja masih
ruwet, konon memikirkan mengubah dunia. Urusan kesejahteraan pribadi saja belum
terpenuhi, boro-boro memikirkan bagaimana berkontribusi memutus tali kemiskinan
Masyarakat.
Rahasia-rahasia rumah tangga
disimpan baik oleh dinding rumahnya sendiri. Isak seorang ibu bahkan tidak
terdengar oleh anak-anaknya sendiri, kekhawatiran seorang ayah bahkan tidak terbisik
ke telinga istrinya sendiri. Lalu apa gunanya menikah?
Oopp, aku tidak sedang
membicarakan tentang pilihan menikah/tidak menikah, ya. Yang sedang dibahas di
sini: Ketidaksadaran, Ketidaktahuan, dan Budaya Tabu yang melanggengkan
ketidaksadaran dan ketidaktahuan itu sendiri.
Dalam hening aku mengkritisi cara
ayah-ibuku berkonflik di rumah sejak kami masa sekolah, aku mengutuki kakak-kakakku
yang dengan ketidaktahuannya menikmati masa remaja dan terjerumus dalam isu pra
maupun pasca pernikahan. Karena bagi seorang adik bersuara adalah dosa hukumnya,
maka ia hanya memetik dan mengoleksi skenario perih dalam hatinya, berharap hal
itu tidak terjadi pada dirinya maupun orang yang disayanginya kelak.
Aku kira fiksi sekadar fiksi,
info sekadar info, wawasan sekadar wawasan. Aku kira konflik dan isu dalam
bacaan adalah hal ekstrem yang terjadi pada kaum ekstrem saja. Semakin aku
menjajaki dunia umur dewasa, semakin aku menyesal memercayai hal itu. Anak
kecil mana yang menduga ternyata apa yang ia baca adalah isu yang terjadi pada
ibunya sendiri, pada ayahnya sendiri, kakaknya di masa depan, dan bisa jadi
pada dirinya sendiri jika saja tidak dicegah atau diukur risikonya dengan
cerdik.
Kadang dengan membaca aku memosisikan
diriku menjadi yang lebih tahu, sekaligus juga menempatkan diri menjadi
yang paling tidak tahu. Kompleksitas relasi antar manusia dalam lingkungan masyarakat
bergantung pada keduanya kondisi individu dan sosial, kondisi latar belakang internal
dan eksternal. Semakin aku mengetahui, semakin aku tidak berani untuk memformulasi
sebuah kondisi dan semakin tak berani pula untuk mengetahui yang sebenarnya
terjadi. Karena itu kan pasti sesuatu yang aku jauh lebih tidak tahu lagi. Aku
semakin tidak tahu dan tidak lagi berani untuk tahu lebih jauh.
Menyesal dan bersyukur seperti
satu kertas dengan dua sisi. Di satu sisi aku bersyukur mengetahui secuil
terlebih dahulu oleh tulisan-tulisan karya penulis pemberani, di sisi lain aku
menyesali mengetahui barang secuil pun mengenai apapun yang terjadi saat ini.
Lagian apa yang mau aku tulis di
Celoteh Ngoceh ini lagi? Aku tidak bisa mengumbar kehidupan pernikahan
orangtuaku, pernikahan kakak perempuanku, bakal pernikahan kakak lelakiku,
sudut pandangku mengenai hal itu, kejelekan oligarki pemimpin negara kita saat
ini, plus/minus tiga perusahaan tempatku bekerja dan kesamaan mereka dalam kejelekannya
sebagai korporasi, sudut pandangku terhadap
uang, pertemananku, intensi ekspektasiku terhadap relasi dengan sahabat
terdekatku, atau strategi hidup bertahan perempuan-perempuan yang sendiri di perantauan.
Hidup sendiri* membebaskan kita
dari bayang-bayang konflik yang sudah pernah kita lihat.
Menyimpan sendiri konflik pribadi
membebaskan kita dari penilaian dan perlakuan deskriminasi.
Selamat datang di negara tabu, jika
punya gagasan yang memprovokasi, pilihan yang memungkinkan sepertinya cuma dua:
menjadi penulis atau pindah ke negara lain.
*Heh, ini cuma gagasan. Aku tidak tahu apakah ada yang merasa terancam jika ada gagasan “Hidup sendiri” dan “Menyimpan konflik pribadi” jika dilontarkan oleh seorang perempuan, seperti namboruku yang naik pitam dan terancam ketika aku bilang belum punya pacar.
0 Comments