Sudah ada beberapa draf tulisan yang tidak selesai-selesai
untuk dipublikasi di Celoteh Ngoceh. Januari tulisan terakhirku, ada banyak hal
yang membuatku tidak begitu getol lagi melanjutkan yang sudah dimulai.
Di perjalanan aku jadi makin sadar saja bahwa tidak semua
misteri harus diceritakan; dibedah, dikaji, kemudian dibagikan. Aku mendapat
banyak sekali pelajaran tapi semakin berpikir apakah perasaan yang sama akan
dirasakan pembaca kalau saja diberitahu. Aku menikmati semua air mata dan tawa
sebagaimana aku menemukan kesimpulannya sendiri dari banyak pembelajaran, tidak
yakin akan merasakan hal yang sama kalau saja aku diceritakan. Bukankah itu
letak bahagianya saat kita menemukan jawaban dari misterinya sendiri.
Foto oleh Rostislav Uzunov dari Pexels |
Ibuku pernah meninggalkan aku bersama orang yang sedang
dibencinya saat itu. Kini, abangku juga meninggalkan aku bersama orang yang
sedang dibencinya saat itu. “Ingin sendiri dulu,” seperti kalimat perlindungan
diri yang mengabaikan orang lain. Bahwa bukan cuma dia yang tersakiti dan ingin
pergi, tapi dia lebih memilih pergi karena yang ia benci daripada tetap tinggal
karena yang ia sayang. Aku merasa dibuang.
Tentu saja itu kesimpulan yang dunia ingin aku percayai.
Habis bagaimana? Setiap yang kusayang, bakal pergi untuk lebih menyelamatkan
diri daripada harus memikirkan kehadiranku.
Ngomong-ngomong tentang hilang. Perasaan hilang kan karena
merasa memiliki, atau pernah memiliki. Aku juga jadi mikir; emang apasih yang
milik kita? Saat aku dengan yakin orangtuaku adalah milikku, retak dan pergi.
Waktu aku pikir aku punya abang yang melindungi dan mau sama-sama merasa,
sama-sama menghadapi, malah pergi dan mau sendiri. Pas aku kira aku punya
seorang teman yang selalu ada, dia juga punya kehidupannya sendiri yang tak layak untuk diusik lebih jauh. Pas aku pikir cita-cita dan kecintaanku
dengan akan-jadi-apa-diriku, malah dipatahkan. Pas aku merasa percaya bahwa
tidak ada yang bisa jamin kehadiran dan kepastian dari apapun di orang lain,
diriku sendiri sebagai kepemilikan terakhir pun gak mau lagi jadi diri sedniri, soalnya diri ini yang selalu mengecewakan orang yang kusayang.
Bahkan badanku sendiri bukan milikku, punya pikirannya
sendiri terhadapku, punya kemauannya sendiri untuk tidak mau berpihak lagi
dengan diri lemahku.
Apa sih yang kita punya?
Sekalinya aku menganggap sesuatu atau seseorang milikku,
sekalinya yakin sesuatu atau seseorang akan selalu ada, sekalinya merasa aman
dan pasti tentang sesuatu, entah bagaimana tak lama setelah itu pasti akan
membuktikan hal yang sebaliknya. Termasuk hal-hal prinsip yang aku pegang,
seketika akan membuktikan kesalahan dari setiap kebenaran yang aku yakini. Aku
merasa dibohongi oleh segala sesuatu, termasuk diriku sendiri.
Terus aku harus percaya apa?
Semakin banyak aku berbagi, semakin banyak dunia menampakkan
diri bahwa banyak yang aku belum tahu. Aku berbagi bukan karena tahu, aku
berbagi justru karena belum tahu dan ingin tahu. Aku menuliskan yang aku tidak
tahu. Oh, terima kasih, Tuhan, kini aku punya motivasi yang bagus supaya tetap
menulis!
Lalu aku merasa sendiri. Bahkan lebih menyedihkan lagi
daripada sendiri; kosong –tidak memiliki diri sekalipun.
Aku selalu memilih tetap tinggal karena aku tahu betul bagaimana tidak enaknya ditinggalkan. Saat yang lain memutuskan untuk pergi, aku tahu bahwa akulah yang harus tinggal. Memangnya siapa yang ingin dibenci, ingin ditinggal? Pahami saja bahwa mereka yang ditinggalkan dan yang tidak disukai itu karena mereka tidak paham apa yang salah dengan dirinya. Kalau paham, pasti tidak akan dilakukannya, karena..
Siapa sih yang mau dibenci dan ditinggal?
Kalau ada seseorang yang ditinggal, tidak perlu lagi kita
menambah daftar orang-orang yang meninggalkan dia. Walaupun orang-orang tetap
meninggalkan kita, aku bisa paham bahwa ini tanggung jawab bagi yang paham. Aku
paham, aku setia menemani. Jika mereka tidak demikian, ya sudah, mereka butuh
perjalanan lain untuk memahaminya. Semoga.
Kasih bukan transaksi yang harus menerima setelah memberi.
Kasih bukan yang langsung ciut dan kapok menjadi diri sendiri saat yang
dikasihi malah berpaling. Kebaikan bukan yang marah dan pergi saat
diperhadapkan dengan keburukan. Kasih itu tulus. Kasih itu tidak bergantung.
Kasih malah menanggung. Jadi untuk apa kita mengasihi?
Hanya orang bodoh yang mengasihi, apalagi yang bersedia
mengimani kasih. Dih!
Tapi kita tidak cukup bodoh untuk dibodohi cara kerja dunia
yang ingin sekali supaya kita percaya sebaliknya. Kita mungkin pernah goyah dan
jatuh, tapi kita kembali, kita pulih, dan kita berdiri lagi.
Kita tetap.
Iya, aku tahu badanku bukan milikku. Jadi bukan sesukaku
untuk berhenti makan karena gak selera. Jadi aku gak berhak untuk menghukum
diriku sendiri, mengabaikannya, saat kecewa. Karena badan ini bukan milikku,
karena ini adalah sesuatu yang dipercayakan padaku, segaksukanya aku dengan
diriku sendiri, aku harus tetap merawatnya, memberi dia asupan makanan yang
baik, membersihkannya, merapikannya.
Karena ayah, ibu, abang, kakak, dan adikku bukan milikku,
aku harus hadir menjadi seorang anak, kakak, dan adik yang baik bagi mereka.
Karena mereka dipercayakan kepadaku dan aku dipercayakan untuk mereka dalam
perjalanan mereka juga.
Karena setiap harta benda, kecerdasan, kemampuan, talenta
yang melekat di aku bukan punyaku sama sekali, aku harus menggunakan,
mengalokasikan, mengolah, dan memberdayakannya dengan baik dan menghasilkan
manfaat.
Tidak mudah, aku tidak bilang ini mudah. Aku hanya berbagi
yang aku pahami. Aku menuliskan yang aku tidak tahu! Maka dari itu, aku tidak
akan merasa paling berhak saat sesuatu diambil dariku nantinya. Bahkan nyawaku
sendiri bukan milikku. “Jadilah padaku seperti yang Kau ingini.”
Cerita tentang nyawa, aku jadi teringat dengan nenekku yang
sekarang-sekarang sudah seperti pembawa berita kematian. Beliau tinggal di
depan rumah, rumah kami bersebelahan. Nenek akan datang ke rumah dan berkata, “Ya
ampun, si A, teman kerjaku dulu di bidan sudah meninggal!”, “Si B, orangtuanya
si ini baru saja meninggal, baru ditelpon”, “Astaga, si C sudah meninggal
padahal kemarin kami baru jumpa.”
Kalaupun ada kabar dukacita yang kami terima duluan, saat kami
mengabarkannya ke nenek, responnya selalu sama “Berapa umurnya?”. Nenekku
seorang tenaga medis dulu. Dia akan selalu bangga menceritakan gaya hidup yang
dia usahakan kepada setiap tamu yang datang, kesehatan dan kehidupannya seolah
adalah hasil usahanya dari bagaimana ia menjaga jenis makanan yang dimakannya, obat
yang dia beli, dan profesor yang tempat dia berkonsutasi.
Juga aku agak tidak sepakat saat orang sering berkomentar setelah
kita menyebut angka umur kita dengan “Ah, masih muda. Masih panjang
perjalananmu.” Beberapa bulan lalu, seorang adik di kampus sudah meninggal
tanpa riwayat penyakit dan gejala yang tidak diketahui. Seorang teman SMA-ku juga
sudah meninggal karena kecelakaan lalu lintas. Begitupun dengan teman kuliahku,
meninggal di tahun pertama kuliah karena penyakit yang tidak terlalu parah bagi
dunia medis.
Aku tidak setuju saat orang berkata umur seseorang
diperkirakan selama 70 tahun dan mereka akan bersiap-siap saat angka umurnya
mendekati umur itu. Seorang belia pun saat ditimpa bencana atau kecelakaan bisa
tumpas saat itu juga. Aku juga bisa, kamu juga bisa, kita semua bisa saja saat
ini ‘dipanggil’ tak peduli berapa umur kita, seberapa sehat kita, seberapa
sakit kita.
Risiko kematian tidak lebih tinggi pada yang sakit, ada
banyak faktor tak terduga yang memungkinkan yang sehat meninggal lebih cepat
juga. Manusia suka berhitung sampai kadang lupa pada sesuatu yang tak bisa
dihitung, umur misalnya.
Hidup ini singkat. Saat kita muda, kita cenderung menjalani
hidup seolah akan selalu bahagia, padahal tidak seperti itu. Hal yang kita
hargai, yang kita sukai akan menghilang pergi lebih cepat dari yang kita pernah
duga. Ya, iyalah, soalnya ini hal yang tak terduga wkwk
Kalau begitu.. apakah itu berarti kita menjalani, memakai, memegang apa
yang berharga dengan kecil hati karena toh bakal hilang juga? Aku sih tidak mau
rugi kehilangan kesempatan yang semua orang belum tentu punya. Saat aku diberikan sesuatu yang berharga, seseorang yang berharga, diriku yang berharga,
aku akan menikmati setiap momen kehadirannya sebagai sebuah hadiah.. yang bukan
milikku. Jadi aku siap menerima kenyataan kalau suatu saat sesuatu itu ditarik
dariku.
Aku lebih memercayainya sebagai sebuah berkat.
Sesuatu yang dengan sadar bukan milikku, akan kujaga,
kurawat, kupelihara, kuperlakukan sebagaimana bukan milikku. Saat itu pula Sang
Pemilik memberikan kepemilikan-Nya padaku sesuka tenggat waktu yang Ia mau.
Saat itu juga aku akan memperlakukan semua itu seperti milikku yang paling
berharga.
Harga hanya diberikan kepada sesuatu yang sementara. Aku
tidak ingin abadi, karena keabadian malah membuatku tidak berharga. Aku juga
tidak ingin sesuatu yang indah abadi, karena justru kesementaraan yang
membuatnya indah untuk dimiliki.
Bukan milikku, jadi terserah Yang Punya. Aku siap menjaga
apa yang ditaruhkan kepadaku:
Berkat.
2 Comments
Jadi buat aku memahami lagi tentang berkat, kata yang sering kita dengar dan ucapkan..
ReplyDeleteMakasih buat insightnya cikaa :)
Terima kasih kembali, Ita :D
Delete