Berbagi dan menebar dalam Public Speaking jadi digandrungi dan diminati untuk dilatih. Salah satu faktornya disebabkan oleh kebutuhan kualifikasi profesi masa kini. Tapi kalau tidak menyerap, apa yang mau ditebar? Keterampilan halus (softskill) mendengar adalah keterampilan berbahasa aplikatif dari yang sebetulnya sudah dilatih sedari kita Sekolah Dasar dulu.
Ingat tidak dalam pelajaran Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris ada pembagian keterampilan berbahasa ke dalam kelompok Mendengar (listening), Membaca (reading), Menulis (writing), dan Berbicara (speaking)? Ya, mendengar merupakan salah satu kemampuan sensori yang tak kalah penting untuk diasah.
Mendengar dan Membaca
Dua aspek ini adalah upaya menyerap informasi, saluran
input, yang kemudian menjadi bahan untuk diolah dengan bahan lainnya sebelum
disajikan (ditebar) kepada khalayak melalui tulisan maupun pembicaraan.
Mengutip keterangan alodokter.com, manusia mulai mendengar
sejak dalam kandungan, yakni pada trimester kedua. Bayi dalam kandungan sudah
bisa mendengar detak jantung ibu, pergerakan udara ke paru-paru, dan suara
aliran darah ibu. Bertumbuh hingga umur kehamilan 23-27 minggu, bayi sudah
dapat mendengar suara ibu dan sekelilingnya. Jadi tidak heran kalau semisal
seorang anak mampu melafalkan kata-kata yang mungkin orangtua merasa belum
pernah mengajarkannya, kemungkinan si anak memperoleh kosakata itu dari
pendengarannya saat dalam kandungan.
Nah, kalau keterampilan membaca jelas bisa karena diajarkan
mengeja abjad. Kalau mendengar sebenarnya juga diajarkan, hanya saja
penyerapannya bisa disengaja (mendengarkan) maupun tidak (mendengar).
Sebagaimana kita yang dulu hanya bisa mendengar, adalah yang
mendengarkan pembicaraan orang-orang yang lebih dewasa informasi, mampu menyaji
bicara. Begitupun dalam hal membaca, kita membaca tulisan orang-orang yang
lebih dewasa informasi, mampu menyaji tulis. Dan jika kini kita adalah yang
ingin menjadi pembicara gagasan atau penulis kajian, tentu saja memegang
peranan mendidik yang penting itu. Giliran orang lain yang akan menyerap apa
yang kita saji, menjadi bahan untuknya kemudian diolah dan ditebarkan oleh
mereka kembali seperti deret ukur Malthus.
Sengaja atau tidak sengaja, ada anak-anak ataupun orang
dewasa lainnya yang akan mendengarkan (sengaja) maupun hanya mendengar (tidak
sengaja) yang kemudian melekat pada ingatan mereka.
Jadi mari renungkan kembali, apakah berbicara disadari dan
dilatih hanya dalam rangka memenuhi kebutuhan kualifikasi profesi dan membangun
reputasi?
Foto oleh Christina Morillo dari Pexels |
Mendengar dan Mendengarkan
Berdasarkan informasi yang dilansir study.com, sebuah peron
edukasi yang diakui berbagai universitas internasional, mendengar (hearing) dan
mendengarkan (listening) berbeda pada tingkat perhatian pendengarnya.
Mendengar adalah aksi dengar yang tidak disengaja dan bukan
atas kendali ataupun keinginan. Sedangkan, mendengarkan merupakan pendengaran
yang disengaja, yang dikendalikan pendengar untuk dipusatkan perhatiannya.
Mendengarkan yang efektif (Effective Listening) bilamana
berhasil mendengar pesan yang disampaikan, memberi arti (memaknai) pesan itu,
dan memberi respon kepada penyampai dengar (pembicara) bahwa kita telah
memahaminya.
PUBLIC LISTENING
Di era pandemi ini nampaknya semakin banyak penyelenggaraan
webinar maupun dialog mengenai topik-topik relevan yang dibutuhkan netizen dalam
mengembangkan diri, bahkan dalam mengomunikasikan kesadaran bermasyarakat.
Namun kemungkinan lainnya sebetulnya bukan semakin banyak, melainkan semakin
luas terpublikasi, luas menjangkau, dan luas akses untuk mengikutinya.
Soalnya selama ini, kan, kalau ada seminar atau dialog
luring ya hanya bisa diikuti oleh masyarakat setempat. Sekarang para influencer ataupun para pejabat yang
domisilinya terpusat di P. Jawa dapat berinteraksi dengan siapapun di seluruh
Indonesia maupun mancanegara. Ada pemerataan edukasi yang terjadi oleh karena
disrupsi ini.
Tapi tahukah kamu, di samping itu, ada juga hal yang memudar
dalam komunikasi publik pada pertemuan, dialog, dan seminar daring? Yap, dialah
yang kita sebut dengan Public Listening.
Public Speaking
tetap berjalan, meski dengan penyesuaian di dalam tranformasi luring ke daring.
Yang dulunya bisa jalan-jalan, sambil menatap dan menjangkau perhatian kembali secara
khusus kepada pendengar, menyentuh, berinteraksi langsung, sekarang itu tidak
terjadi lagi. Interaksi tetap ada namun berbeda. Sebagai pembicara, hal utama
yang dirindukan dari interaksi dengan pendengarnya adalah eksistensi pendengar
dalam bentuk public listening.
The Power of Public Listening yang dikomunikasikan Alisa Shubb, seorang pengajar digital bidang Speech and Communication, pada 2015 di Ted x UCDavis, menyatakan bahwa kehadiran orang lain secara langsung dapat meningkatkan kesadaran sosial kita dan menggerakkan kebutuhan natur kemanusiaan kita akan sebuah respon. Respon dimaknai dengan sebuah koneksi, ketertarikan, interaksi dalam pengujian diri (self eximination) pembicara.
Tunggu jangan pening dulu haha. Pengujian diri itu maksudnya sebuah penyesuaian perilaku yang dinamis dialami oleh pembicara saat public speaking berlangsung yang kita sebut dengan immediacy effect dalam interaksi. Dengan kata lain: respon langsung pembicara atas respon langsung pendengar yang merupakan upaya memperbaiki atau mencegah kesalahpahaman.
Meski pembicara terlihat sedang monolog, ia sebenarnya juga
sedang meresponi respon pendengar sepanjang ia berbicara. Ada komunikasi dua
arah dalam bentuk non-verbal antara pembicara dan pendengar. Ini merupakan
salah satu keterampilan berbicara publik: empati dan memahami bahasa non-verbal
pendengarnya.. yang pengaplikasiannya seturut dengan perilaku pendengar publik.
Maka atas gagasan yang disampaikan Alisa Shubb, dapat
disimpulkan bahwa kekuatan komunikasi terletak pada pundak setiap pelaku
komunikasi. Tepat sekali, yaitu keduanya antara pembicara dan pendengar.
Yang dikhawatirkan, jangan sampai kita kehilangan kekuatan
besar dari mendengarkan.
Kecuali jika telah disepakati atau diperbolehkan dalam
peraturan pertemuan daring untuk menonaktifkan video, menghidupkan video kita
sebagai peserta merupakan bentuk etika dan penghargaan kita kepada pembicara.
Saat kita memperlihatkan diri kita yang memerhatikan, kita sedang
mengomunikasikan kehadiran dan kesetiaan, bukti bahwa kita tidak sedang
jalan-jalan dan meninggalkan perangkat kita bersuara seperti suara radio yang
diabaikan, bukti bahwa “sebagaimana aku menghargai kamu yang berbicara di depan
kamera yang aktif, yang memusatkan 100% upaya menyampaikan informasi, meski aku
tahu aku terkadang teralihkan dan mungkin sedikit bosan di tengah (tidak 100%)
dalam mendengarkan, aku ada di hadapan kamu yang diperantarai kamera dan
jaringan internet ini”. Artinya siap dan sedia, sebagaimana pembicara yang
mendedikasikan diri telah rapi, kita juga sedia dan siap dalam keadaan
mendengar baik secara sikap maupun penampilan.
Kekuatan dan pentingnya peran pendengar dalam public listening terutama terletak pada
bahasa non-verbalnya: senyum, anggukan, mimik wajah, bahkan suara gumam.
Sebagaimana silakan jujur pada diri sendiri. Kita tidak harus dan semestinya
jangan berpura-pura mendengarkan atau memahami yang disampaikan. Silakan jadi
pendengar yang merdeka apa adanya. Pembicara akan menangkap apapun yang
dikomunikasikan pendengar sebagai bahasa untuknya untuk diresponi.
UNTUK APA AKU MENDENGARKAN
Jika pelaku komunikasi adalah pendengar dan pembicara, pembicara adalah penyampai pesan, pendengar adalah penerima pesan dan penyampai respon (pesan atas pesan). Bersama-sama, mereka menciptakan komunikasi.
Ilustrasi penulis |
Proses komunikasi ini menciptakan ikatan kepercayaan (sense of common trust). Sebagaimana
pendengar memberikan apresiasi atas yang didengarnya dengan merespon, pembicara
memberikan respon atas respon sebagai bentuk apresiasi atas apresiasi
pendengar. Pengalaman mendengarkan dan pengalaman berbicara jadi bisa senikmat
itu, seperti dulu saat kita berbicara secara langsung.
Mendengarkan dengan memaknai, bahkan mencatat hal penting yang dibutuhkan, tidak sekadar mendengar dan membiarkan informasi menguap dalam ingatan jangka pendek, dapat menjadi bahan untuk kita kelola kembali. Bahan mentah (informasi yang didapatkan dari apa yang kita dengarkan) ditambah interpretasi atas pengalaman pribadi, sudut pandang dan fenomena yang diamati pribadi, dapat menghasilkan karya baru yang unik.
Karya tersebut dapat digunakan
sebagai material pengambilan keputusan dalam bersikap maupun memecahkan masalah
sehari-hari bagi diri kita, bahkan dapat digunakan untuk kita menebarnya kembali sebagai
produsen informasi kepada orang lain. Orisinalitas yang kemudian menjadi bahan baru lainnya bagi
konsumen informasi.
Selamat mendengarkan!
Selamat berbicara!
Referensi:
Immediacy Effect - Convertize.com.
Saudah, Siti. Meningkatkan Kemampuan Berbahasa Melalui TTW. AKPRIND Yogyakarta.
Memahami Kekuatan dari Mendengarkan - Tirto.id
The Power of Public Listening | Alisa Shubb - TedXUCDavis
0 Comments