Mengikuti tren, sesuatu yang lagi happening, sepertinya jadi cara paling asik berselancar pada dinamisnya keadaan sosial bernegara. Tren menyatukan kita semua berpendapat dan bertindak seolah telah sepakat pada satu topik musiman yang sama. Contoh yang paling dekat, nih, TikTok-an joget “Kopi Dangdut”. Entah siapa yang memulai pertama sampai ada yang ikut, ikutin yang ikut, secepat itu seluruh beranda dan jelajah kanal media sosial ramai dengan antusiasme yang sama.
Apalagi sekarang yang terkini itu tentang pengesahan RUU
Cipta Kerja. Seketika netizen berbondong-bondong membagikan konten terkait hal
ini, beberapa juga ikut berpendapat; ada yang emosional maupun menyindir satir,
atau bahkan berupaya netral. Sampai ada juga yang bukan lagi fokus pada
beritanya, melainkan mengkritisi perilaku para pengkritik berita tersebut,
tudingan istilah Social Justice Warrior
(esjewe) jadi populer lagi.
Akses komunikasi online yang mutakhir menyebabkan suatu topik dan informasi rentan tersebar cepat selagi hangat dan bersifat menular. Sebuah gaya hidup atau topik kalau tiba-tiba udah ngetren sampai ke kita, itu ada mulanya. Hanya saja sudah keburu semua orang membahas suatu topik atau gaya tren, jadi tenggelam dan tidak terdeteksi lagi saja siapa yang mengawali.. Atau lebih tepatnya, tidak lagi dijadikan persoalan bermula darimana.
Foto oleh cottonbro dari Pexels |
Latah Sebagai Fenomena Naluri Kelompok
Rolf Dobelli pada bukunya yang berjudul The Art of Thinking Clearly menjelaskan satu bias yang ia sebut
dengan Pengakuan Sosial (social proof) disebut juga naluri kelompok. “Pengakuan
Sosial membuat seseorang merasa bertingkah laku dengan benar ketika bersikap
sama dengan orang lain”, tulisnya. Ibarat kita sedang keluar gedung, terlihat
semua orang mendongak ke langit, otomatis kita juga pandang ke langit seperti
yang lain. Atau pulang dari tempat konser, kita menuju tempat penitipan jaket.
Ngantri, terus lihat orang-orang di depan kita setelah ambil jaket letakin uang
kecil ke atas piring, otomatis kita juga ikut kasih tips letakin uang ke atas
piring. Padahal bisa jadi itu bukan keharusan, tapi kita melakukannya karena
merasa harus, bukan kesadaran mau beri tips.
Nah, kalau kita mau tahu secara historisnya, dulu di jaman
purba memang mengikuti cara orang lain itu strategi manusia bertahan hidup. Di
zaman berburu dan mengumpulkan, saat berburu hewan di hutan, kalau teman-teman
di depan berlari ke belakang, tanpa mempertanyakan lagi harus segera ikutin
lari ke belakang, mungkin ada hewan buas yang sedang dihindari di depan. Setelah
keadaan aman, barulah bisa dipertanyakan dan dipikirkan kembali, tadi itu ada
apa ya, apa yang terjadi sebenarnya.
Tapi, di masa kini, naluri berkelompok ini gak berdampak negatif melulu kok. Contoh, saat pengalaman pertama kali naik pesawat sendiri, untuk mengatasi kebingunag selain dengan bertanya petugas, kita bisa lihat orang-orang berjalan menuju mana, apa yang dilakukan. Begitupun turun
dari pesawat, ambil barang bagasi sampai terlihat oh di situ
pintu keluarnya tanpa harus linglung. Atau saat kita dan teman jalan-jalan
sambil cari tempat makan yang enak, apalagi kalau itu bukan daerah tempat kita tinggal. Tempat makan yang ramai dapat diasumsikan
sebagai tempat favorit penduduk sekitar dan enak untuk dicoba.
Bias ini juga digunakan di acara komedi, meyakinkan penonton
untuk ikut tertawa memahami dimana momen lucunya dengan rekaman efek suara
tertawa. Di industri broadcasting juga,
ada satu orang sebagai pionir di antara maupun di depan penonton untuk dengan
yakin bereaksi duluan supaya penonton tertular bereaksi dan acara yang sedang
berlangsung terkesan lebih interaktif dan hidup.
Pun kita tidak perlu heran kalau bias ini juga dimanfaatkan industri
periklanan dalam strategi pemasarannya. Tapi itu tidak mengapa karena
periklanan adalah bagian dari aktivitas ekonomi dalam memperkenalkan
produk/kebutuhan target pasar (pembelinya).
Satu yang harus kita sadari dan cemaskan adalah bagaimana
buzzer atau oknum tertentu memprovokasi dan mendikte perhatian dan gerik warga
negaranya dalam sebuah keputusan pemerintahan.
Anti-Tren Supaya Ngetren
Analoginya kalau semua orang sepakat bahwa seseorang yang
berdiri itu keren (tren), kita ikut berdiri supaya keren juga (ngetren),
sesuatu yang tadinya pikir akan ikut unik jadi gak unik karena sudah semua
orang seperti itu juga, berdiri. Tapi kalau semua orang berdiri (tren), kita
sendiri bukannya tetap duduk malah guling-guling (anti-tren) kita jadi unik di
antara orang-orang yang merasa dirinya unik.
Lalu muncul pertanyaan mendasar: Untuk apa kita unik? Secara
harfiah, agar diakui sosial. Yang menjadi pembeda tiap keputusan orang adalah
untuk apa ia ingin diakui sosial.
Foto oleh Karolina Grabowska dari Pexels |
Di masa yang sedang sensitif dan panas-panasnya ini terkait
pengesahan RUU Cipta Kerja, mengikut tren jadi serba salah. Di satu sisi, kita
harus memberi perhatian yang sama (kompak) mendiskusikannya, seperti fungsi
tren yang seharusnya, menyatukan yang tersebar. Namun di sisi lain, pendapat
apapun saat ini tidak dapat memadamkan emosi apapun, malah memperkeruh keadaan
meskipun tadinya tidak bermaksud.
Saat semua orang sudah memenuhi jejeran konten menyatakan
aspirasinya terhadap satu berita, apakah dengan kita ikut tren, menambah satu
di antara jejeran itu dapat berpengaruh? Bagaimana dengan satu opsi unik: Di antara
gerombolan orang-orang yang bertikai konten, kita ambil jarak dan mengamati
perilaku gerombolannya, apa yang sedang digerombol. Lalu muncul sodorkan
hasil olahan objektif untuk mengusik dan menyentak gerombolan agar menyadari dan memecahkan
masalah bersama dengan lebih kalem.
Sorot lampu bisa jadi keunggulan yang menyelamatkan atau menghancurkan, tergantung niatan si penampil dan kesadaran si penonton akan hal itu.
Kapan sebaiknya kita bertindak anti-tren?
- Saat hal yang ngetren adalah topik sensitif yang sedang ramai diributkan. Atau setidaknya pertimbangkan betul, pelan-pelan, dan mempertanyakan dahulu pengaruh dari sebuah konten yang dibagikan. Jangan sampai malah memenangkan oknum hantu yang memecah belah persatuan, yang harusnya diperangi.
- Saat kita terancam latah informasi. Latah jangan direalisasi.
- Saat kita belum tuntas memahami persoalan yang sedang ngetren. Mendingan tidak berpendapat daripada berpendapat atas sebagian. Karena kalau ikut dengan pemahaman dan literasi yang minim, selain berpotensi menyesatkan dan memengaruhi pandangan salah kepada netizen lainnya, bisa mempertontonkan kekonyolan diri. Apa yang kita posting mencitrakan kualitas diri.
- Saat kita enggan menjadi serupa. Tampil unik bisa jadi peran oposisi untuk menyentak netizen lainnya supaya berpikir di luar kotak, berpikir kembali melalui sisi lain, menguji cara pikir yang sedang ngetren. Asal jangan kelewat batas apalagi sampai merugikan orang lain. (Unik bukan berarti sipanggaron ya wkwk)
- Saat tren mengalihkan perhatian kita dari sesuatu yang lebih penting.
0 Comments