Rumah Belantara


Terkait dampak pandemi 2020, UNESCO bilang hampir 300 juta pelajar di seluruh dunia terganggu dalam aktivitas akademik, berpotensi mengancam masa depan. Farchan, sobatku yang sedang mengkaji solusi atas ketidakefektifan sistem belajar daring berhasil membuatku ikut melamun akan hal ini.

Fenomena yang ia sebut dalam tulisannya: alternatif belajar-mengajar daring membatasi interaksi guru dan murid. Eh, tunggu dulu yang membuatku tertarik itu kelanjutannya.

Dalam kajiannya, sobatku ini bilang padahal interaksi langsung itu elemen esensial yang mendukung proses perkembangan verbal dan kognitif anak murid. “Sentuhan tangan dan hati seorang guru dapat memberikan kenyamanan kepada para peserta didiknya untuk melakukan sesuatu, menentukan mereka dalam bersikap, dan berperan dalam penanaman etika serta moralnya. Bagi mereka (pelajar), apa yang didengar dan dilihat dari para pengajarnya sudah menjadi bentuk pendidikan,” paparnya. Menumpulkan kepekaan dan fokus, menurunkan daya nalar kritis, dan kreativitas murid! Bayangkan saja generasi murid yang dididik daring akan jadi angkatan kerja yang asupannya tidak sesempurna pendidikan yang kita pernah alami. Pandemi berdampak hingga ke masa depan, itu benar.

Ancaman Datang Bersama Peluang

Aku yang dididik bidang ilmu sosial dan ekonomi, berupaya berbagi pandangan lain terhadap fenomena yang sama. Sebagaimana Kelemahan disanding dengan kekuatan internal, ancaman datang bersama dengan peluang dari sisi eksternal (Analisis SWOT oleh Albert Humprey).

Waktu kita cemas persaingan kerja dalam negeri pada masa ASEAN Free Trade, di kelas Akuntansi Manajemen Dosenku mengajak kami mengkritisi, “Kalau mereka (TKA) datang ke Indonesia ya tidak apa, silakan. Kita kan juga boleh ke negara sana. Pas TKA ke sini, ada slot kosong dia yang seharusnya di sana, itu namanya peluang. Gak usah banyak alasan mencemaskan ini itu, menuntut ini itu. Siapkan dan mampukan saja diri untuk bawa diri dan bawa dampak ke mana-mana. Ada ancaman (TKA masuk) kan juga ada peluang (TKI keluar). Kalau mampu, pasti tidak akan takut,” gurau Pak Fahmi.

Dengan analogi serupa, pada masa para murid tidak berjumpa langsung dengan guru di sekolah, peluang yang sama hadir; mereka berjumpa langsung dengan orangtua dan saudara seatap rumah dengan waktu yang lebih lama dari biasanya. Gagasan Dewantara yang popular itu sangat tepat untuk diamalkan di kondisi begini, “Setiap orang menjadi guru, setiap rumah menjadi sekolah.” Tampaknya konsep kerjasama peran mengajar seimbang oleh guru, orang tua, dan murid ini patut digalakkan dan dihidupkan kembali.

Guru absen secara badan, Orang tua hadir secara badan.


Rumah yang Bukan Rumah

Tentu saja tidak mudah, kondisi keluarga tiap rumah dalam keberlayakannya sebagai “sekolah” sangat beragam. CNN Indonesia melaporkan Lembaga Bantuan Hukum APIK Jakarta menerima 97 penagduan kasus kekerasan terhadap perempuan dalam kurun waktu 16 Maret sampai 19 April 2020 (sejak pemerintah menghimbau masyarakat membatasi kegiatan di luar rumah). Tempo.co menyatakan KDRT sendiri terbagi menjadi empat kategori, yaitu kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan finansial, dan kekerasan seksual. Tuani, anggota LBH APIK yang diwawancarai tim Tempo, menyampaikan bahwa kondisi ekonomi menjadi salah satu faktor utama mengapa KDRT terjadi di tengah pandemi corona ini. Saat dunia masih milik orang dewasa, mereka sebagai aktor utamanya, ayo kita sadari ada anak di sudut rumah yang menyaksikan setiap pertikaian orangtuanya, yang tidak ikut dilaporkan secara eksplisit dalam setiap pemberitaan kasus.

Oleh Onojeghuo; CC0 Pexels.com

Ironis dengan keadaan yang menggambarkan justru sekolah yang selama ini jadi rumah bagi anak-anak yang keadaan rumahnya tidak berhasil menjadi tempat pulang dan rasa aman. Bagaimana pula rumah mau jadi sekolah kalau rumah saja belum layak untuk menjadi rumah yang sejati itu sendiri.

Kepribadian anak secara individu dan kepribadian bangsa secara kolektif berasal dari esensi pendidikan; keluarga. Maka, jadi tidak heran kan kenapa pendidikan selama ini tidak optimal dan berat sebelah di guru dan sekolah. Terima kasih kepada pandemi yang menyadarkan kita; yang rumahnya adalah rumah maupun yang tidak. Toxic Parent meregenerasikan toxic children secara psikologis. Jika ditelisik lebih jauh, tindak bullying, keterbatasan nalar dan fokus, maupun sikap ambisius di sekolah salah satunya disebabkan oleh keadaan rumah yang absen sebagian atau keseluruhan dalam memenuhi kebutuhan afektif anak.

Yang perlu kita ingat, di masa depan, anak ini akan jadi orangtua pula bagi anak-anaknya. Bahkan jauh sebelum dia menjadi orangtua, di umur 18 tahun ke atas sampai melewati quarter life crisis, si anak yang selama ini ditanami dan disiram subur oleh keberacunan akan berimbas kembali, berpotensi menjadi anak yang beracun bagi orangtua mereka sendiri, orang lain, bahkan destruktif pada diri sendiri.

Ada Parenting, Ada Childing

Catatan: Dalam pembahasan ini, orangtua tidak hanya mengarah pada ayah dan ibu, tapi juga siapapun yang bertindak mengasuh di dalam rumah. Begitupun anak tidak hanya mengarah pada anak kandung, tapi juga siapapun yang bertindak sebagai yang diasuh dalam atap rumah yang sama. Dapat disesuaikan. 

Tahun ini, aku berumur 23, abang 26 tahun, kakak 24 tahun, adik 19 tahun, orang tua 52 tahun. Selama masa pandemi, oleh kebijakan Kuliah Daring, aku dan adik kembali tinggal seatap rumah bersama kedua orangtua kami.

Sebelumnya, konteksnya adalah beberapa kurun waktu lalu orangtua kami sempat bertikai. Kemudian aku juga teringat dengan kondisi keluarga lain (sahabat kakakku) yang keadaan umur anggota keluarganya mirip dengan kami, juga bertikai. Wuh, sama-sama kompleks dong penyebabnya kenapa pertikaian besar bisa terjadi pada umur pernikahan yang kurang lebih 25 tahun. Aku sebagai pengamat gadungan ini memaknainya sebagai Quarter Marriage Life Crisis secara kolektif dan Half Life Crisis secara masing-masing individu ayah dan ibu.

Di subbab ini, aku mengajak teman-teman membahas yang secara individunya saja terkait parenting dan childing (istilah childing aku sendiri yang buat hehe).

Memasuki umur 50-an aku menyadari orangtuaku yang kian renta, secara mental, psikis, maupun fisik. Di lain sisi, pada saat yang bersamaan, anak-anaknya memasuki umur produktif yang kian mapan secara psikis maupun fisik. Orangtua yang dulu mengajari, dalam beberapa hal kini diajari oleh anak-anak yang lebih paham akan hal itu daripada diri mereka sendiri. Secara kemampuan bertahan hidup pun, generasi Z lebih menguasai keadaan yang sekarang dibanding boomers. Masa jaya boomers sudah berpindah ke genZ. Kesadaran ini juga yang semakin meyakinkanku apa yang aku tindak terhadap orangtuaku akan mempengaruhi tindakan ayah ibuku.

Ayahku baru saja berdebat dengan adikku mengenai teknis audio dalam rekaman. Suara adikku lebih besar, badannya lebih tegap, pernyataannya lebih mantap daripada ayahku dalam perdebatan itu, terlepas apa yang didebatkan ayahku lebih benar atau tidak. Perdebatan ini sudah macam kebakaran. Api menyerang api, semakin kita ikut, semakin apinya membara. Itu terbukti dari ibuku yang berusaha jadi air, tapi tidak cukup besar untuk api yang terlebih besar. Malah jadi bumerang, si air jadi bensin dimakan api.

Ayahku melayani sebagai videographer di gereja untuk ibadah online. Lelah dan sebisanya ia lakukan, tentu saja hal yang baru dibarengi dengan komentar sana-sini dari jemaat. Lalu adikku memberi saran tentang kualitas audio. Di saat ayahku yang butuh apresiasi, ia lagi-lagi kena evaluasi. Aku kira dalam ketidaksempurnaan pekerjaannya, ia membutuhkan kata terima kasih dari siapapun yang tak kunjung didapatkannya. Keadan ini jadi refleksi bagiku. Dulu, adikku meraih juara 4 di kelas, ia malah kena marah orangtuaku “Kenapa gak juara satu”.

Dalam perdebatan ini, adikku tegas dalam memotong pembicaraan untuk mendapatkan kembali hak suaranya yang dirampas karena ayahku sudah memotong dan menyimpulkan sebelum adikku menyelesaikan ucapannya, seperti yang selama ini orangtuaku juga lakukan. Namun sikap adikku adalah pembelajaran yang ia dapatkan. Ia memilih untuk didengarkan sampai habis, maka ia dengan lantang bersikap “memarahi” orangtuaku.

Kau tahu, ibuku sudah beranjak dari tempat duduknya bolak-balik kayak mau cari sesuatu tapi tak jelas, menghampiriku mengalihkan suasana hatinya sendiri, “Hai, Chika. Ayo kita buat kue semprit yang kau bilang kemarin.” Sementara ayahku bolak-balik katanya mau siap-siap pergi main tenis meja (entah benar atau tidak) sambil lemas menjawab ringkih membela dirinya selagi adikku berkuasa menggunakan hak suaranya sampai habis dengan volume yang tidak berkurang.

“Papi mau kemana ganti baju? … Halaa udah capek-capek melayani malah dimarahin papi ini. Makasih yaa papi,” yang bisa kukatakan memulihkan hatinya. Walaupun beliau lebih memilih menggubris repetan adikku daripada apresiasiku, ia masih saja merespon evaluasi adikku saat menjawab apresiasiku. Baiklah, ia yang memilih. Kalau menangis diartikan lebih luas daripada jatuhnya butiran air mata dari bola mata, aku rasa ayahku sedang menangis. Ibuku sedang menangis. Aku terlebih menjerit menangisi mereka bertiga dan keadaan rumah ini.

Di umur segini, orangtua yang diasuh oleh anak, di tengah-tengah upaya orangtua untuk tetap mengasuh anaknya, tetap membawa anaknya dalam doa mereka. Maka, aku mengajak teman-teman semua untuk sadar, untuk meredam, untuk menguasai diri, rela mengorbankan idealisme pada waktunya, jauh memikirkan “Jika aku merespon begini orangtuaku akan bagaimana ya?” berusaha memahami akibat dari sebab yang mulut kita lontarkan dan perlakuan yang kita berikan kepada mereka. “Jika A maka mereka B, jika C maka mereka D. Oke aku akan C daripada A”

Ini saatnya kesehatan dan kebahagiaan orangtua kita diamanahkan ke tangan kita, anak-anaknya.

Memutus Lingkaran Hitam

Parenting dan Childing kemudian si anak jadi orang tua lagi yang melakukan parenting dan menimbulkan childing, begitu seterusnya ke generasi berikutnya terus. Seperti terjebak di lingkaran hitam. Lingkaran hitam ini harus diputus. Jika kau setuju, ayo kita lanjut.

Aku sendiri bukannya tidak ikut kena dampak dari parenting orangtuaku. Hanya saja aku bisa lebih sadar karena memilih untuk tidak meneruskan dampak yang mengenaiku, memutus lingkaran hitam itu. Lingkaran hitam itu bisa terputus oleh dampak lingkaran lain. Aku punya lingkaran lain di luar rumah; persahabatan di luar maupun dalam kampus. Teman-teman yang dibesarkan dari latar belakang dan parenting yang berbeda, nilai-nilai yang kupelajari mulai terkontaminasi oleh nilai temanku yang lain, begitu pula mungkin mereka terkontaminasi olehku.

Aku menemukan kembali diriku, keluargaku, temanku, oleh karena aku menemukan kembali Tuhanku yang sesungguhnya. Selama ini beragama namun tidak beriman yang semestinya dalam agama itu sendiri. Tentu saja ada proses yang tidak sederhana dalam memperoleh itu. Saat sesuatu nilai hidup yang paling esensial, paling mendasar kita peroleh kembali dengan lebih mantap, kerangkanya akan lebih mantap menjulang untuk dibangun. Aku yakin bahwa yang kumaksud adalah nilai eksistensial dan ketuhanan. Itu semua akan membawa kita pada reorientasi hidup.

Bukan aku yang mencari Tuhan, Dia yang duduk setia sebetulnya di sampingku terus.

Jika teman-teman memiliki rumah belantara, yang jadi rumah aja belum layak, atau jika teman-teman mengetahui teman lain yang demikian rumahnya, ini dia amanahmu untuk mengkontaminasi. Tularkan virus harapan, jangan lepas interaksi di saat melepas perjumpaan fisik ini.

Let’s embrace each other. Let’s be Thy Agent!

Okeh, Ini Semua Hubungannya Apa?

Saat pandemi memaksa kita untuk dirumahkan, hadapilah rumah itu, pahami bagaimana kita dipaksa untuk menghadapi kalau selama ini kita menghindari. Jika rumah itu terlalu rusak untuk kita tinggali, tidak ada rasa aman di dalamnya, itu berarti ini waktunya untuk membangun kembali rumah yang sesungguhnya. Jika rumah itu sudah baik dan memberikan rasa aman untuk ditinggali, jadikan dia sekolah bagi penghuninya maupun bagi penghuni rumah lain, bantu teman kita yang sedang di lingkaran hitam untuk memutusnya melalui komunikasi.

Jika tidak ada teladan, sentuhan, atau dukungan interaksi langsung yang selama ini diperankan guru di sekolah, ini saatnya kita ada untuk adik-adik kita pada masa pertumbuhannya, menghadapi adik yang sedang masa pencarian diri jika ada, juga kita ada untuk mendukung mental orangtua. Mari merumahkan rumah, menyekolahkan rumah, menggurukan diri, menggurukan orang lain. Kita selalu punya pilihan, kita bisa membuat pilihan baru bahkan. Kita memilih dan memutuskan mau jadi apa, mau bagaimana, mau menjadikan apa, mau membagaimanakan apa. Tetap tekun dalam doa, apa mau-Nya.




Jika kita selalu mempertanyakan rumah, mungkin kita sebenarnya yang sedang ditunjuk jadi jawaban, siapa tahu?




Post a Comment

2 Comments

  1. It's very nice, min.

    I appreciate your essay.
    Really deeper and heart feeling.

    Thank you so much.

    ReplyDelete
    Replies
    1. My pleasure, kak Fitri :D
      Let's build a better home for everyone!

      Delete