Aku Jelek



Wikipedia bilang defenisi itu konsep –batasan fakta, rumusan mengenai suatu lingkup. Satu objek yang sama jika didefenisikan oleh diri kita dan orang lain, bisa saja sama bisa pula berbeda defenisinya, atau bahkan sama sebagian, sebagiannya yang lain berbeda defenisinya. Setiap orang bebas mendefenisikan apapun, inilah yang kemudian disebut dengan relativitas. Tapi sebagai pakem dalam berbahasa, ada defenisi sebagai hasil penelitian ahli yang sepakat diterima masyarakat; itulah yang tercantum dalam KBBI, ensiklopedia, dan lainnya.

Nah, ada konsep yang tidak diteliti oleh peneliti, yaitu persona. Arti kata persona tentu saja ada di dalam KBBI, namun yang kumaksud adalah subjeknya si persona: Aku, Kamu, Dia, Mereka, Kalian. Karena konsep persona ini bersifat spesifik setiap manusia, iya kali setiap kita diteliti dan didefenisikan sebanyak manusia di bumi.

Defenisi membuat kita mengerti sebuah konsep untuk bagaimana digunakannya dan di letakkannya, bagaimana hal itu dilihat. Jadi apa defenisi (sebut namamu)?

Foto oleh NEOSiAM 2020 dari Pexels

Kondisi Defenisi

Karena tidak ada pakemnya, setiap orang bebas mendefenisikan seseorang secara berbeda-beda, relatif. Ada sebagian orang yang bilang aku jelek, namun tidak menutup ada orang lainnya yang bilang aku menarik. Lalu akhirnya defenisi itu kembali ke diri kita, pemilik tubuh ini yang akhirnya memutuskan siapa dirinya, apa dirinya, bagaimana dirinya.

Yang perlu untuk diingat adalah kita semua memiliki mata, namun tiap kita juga punya titik buta (baca: Hidup dalam Kotak). Akal budi dan olah pikir memungkinkan kita untuk menerima, memilah, mengolah, menyimpan yang perlu, membuang yang tidak perlu, mengolah lagi, jika perlu menerima lagi, kemudian jadilah rumusan, konsep. Yap, lahirlah defenisi!

Jangan ditelan bulat-bulat yang orang lain pandang, jangan telan bulat-bulat pula yang kita sendiri pandang. Pahami konteks pandangannya karena pada dasarnya cara setiap orang memandang dan berpendapat (termasuk diri kita sendiri) dipengaruhi oleh banyak faktor, baik latar belakang ia dibesarkan, nilai-nilai yang ia yakini, lingkungan pergaulan, dan banyak lagi. Cara berpikir adil inilah yang bisa disebut dengan objektivitaaas. Wuhuw!


Mendefenisikan Orang Lain

Kita pasti punya konsep sendiri ya, gimana yang dibilang cantik, gimana yang dibilang amit-amit. Gimana yang dibilang tampan, gimana yang dibilang ke laut aja. Yang akan kita bicarakan di sini adalah tentang konsep kita terhadap sesama jenis dan lawan jenis.

Tidak jarang kan, kita julid dengan sesama jenis kita. Apakah itu aku yang perempuan memandang sebelah mata perempuan tertentu atau apakah itu kalian laki-laki memandang jijik laki-laki tertentu. Sikap merendahkan dan ketidakterimaan kita terhadap konsep sesama jenis kita ini muncul karena adanya defenisi sempit yang telah kita sendiri putuskan dalam gender tertentu. Kita yang sebagai perempuan menganggap keberadaan perempuan di luar defenisi itu memalukan harkat martabat dirinya sebagai perempuan, begitupun yang laki-laki terhadap sesamanya. “Malu-maluin”. Pandangan sexist kepada kelompok jenis sendiri inilah yang disebut dengan Internalized Misogony.

Aku pernah yang mendefenisikan bahwa perempuan yang menarik secara visual, high maintenance girl, yang kalau ditaksir bersolek lebih dari 30 menit, ketawa cekikikan, umumnya bodoh dan lamban, tidak bisa memprioritaskan sesuatu, lemah, manja, tidak bertanggung jawab, tidak bisa diandalkan, murah, dan penjilat. Hehehe kejam sekali ya. Bisa-bisanya aku mendefenisikan konsep yang seperti itu karena banyak faktor tadi.

Kami di rumah diajarkan tanggung jawab sedari kecil, sesimpel pekerjaan rumah. Aku yang bertanggung jawab beresin kamar, ketersediaan nasi dan air matang, serta kakak perempuanku yang diberi tanggung jawab ketersediaan piring bersih. Ibuku orang yang ringkas, bersolek seperlunya sesuai kepentingannya. Lincah, ligat kalau kata orang Sumut. Ia tidak akan berlama-lama jika tahu akan banyak pekerjaan lain yang lebih penting untuk dikerjakan. Semua beres di tangannya. Ibuku pernah bilang, “Chik, perempuan cantik itu yang rumahnya dan dirinya bersih, yang cantik dirinya keluar rumah dan cantik rumahnya pas dia tinggalin.”

Kakak perempuanku, dulu saat ia remaja (mungkin masa puber pencarian jati diri ya), pokoknya dulu, ia disenangi teman-temannya, pulang selalu sore. Pulang-pulang itu pun selalu membawa sisa-sisa suasana hatinya yang buruk. Marah-marah, mukanya beringas, melawan-lawan ayah ibuku, membalas perhatian baik mereka dengan repetan pembelaan diri. Tapi kalau pagi dia cantik. Setelah kuliah catok rambut sana-sini, meriah skin care sana-sini. Keluar rumah, dia segar sekali seperti malaikat yang baru mandi, adem. Pokokmya di rumah, gak pernah senyum, alis selalu mengernyit hendak menerkam. Tapi kalau lihat foto-foto selfienya atau wefie bersama temannya, senyumnya paling mulia. Hoala, kalaulah tahu teman-temannya bahwa dia adalah iblis paling keji jika di rumah, yang tidak tahu sopan santun, berasa ratu. Dari situlah aku membangun konsep perempuan jelek. Malu aku kalau bertemu perempuan begini, langsung penuh prasangka. Mencoreng nama baik perempuan yang luhur dan spesial oleh Sang Pencipta.

Semakin aku tumbuh, semakin banyak ketemu ragam karakter sesama manusia, konsep “perempuan jelek”-ku semakin kokoh terbangun. Di SMP, ada sobat yang bulu matanya lentik, namun pembuat onar. Lalu makin ketemu lagi orang yang narsis di dunia online, namun yang paling tidak bisa membawa diri di dunia offline, menyusahkan saat diajak mengerjakan sesuatu. Yang tidak bisa mengambil keputusan, yang tidak bijak. Mantan pacar abangku yang berkilau, tidak tahu sopan santun. Semakin cocok aku menyimpulkan bahwa perempuan yang high maintenance berasosiasi dengan hal-hal negatif.

Tentu saja ini semua konsep yang tidak benar! Apa salah dari mereka yang berpenampilan menarik? Yang salah adalah mereka yang mengorbankan etika, wawasan, guna diri demi penampilan semata. Dan tidak semua yang berpenampilan menarik seperti itu.

Tidak kebayang juga, kan, bagaimana konsep “perempuan jelek”-nya perempuan lain. Apakah itu aku yang tidak ia suka?

Internalized misogony ujungnya berakibat lebih beracun dari yang kita bayangkan seperti victim blaming pada kekerasan seksual. Energi negatif ini juga dapat memicu kekerasan terhadap sesama perempuan seperti ibu-ibu pada sinetron. Umumnya, tingkat pendidikan dan sikap objektivitas berpengaruh besar terhadap kesadaran internalized misagony yang menguasai dirinya.

Racun lainnya lagi, selain jadi merendahkan perempuan lain, internalized misogony memunculkan sikap meremehkan diri sendiri juga. Ketika konsep “perempuan jelek”-nya kita adalah konsep “perempuan cantik”-nya masyarakat, secara tidak sadar kita setuju kalau perempuan di masyarakat itu inferior, setuju juga kalau kita sendiri itu tidak sesuai standar masyarakat. Di saat naluri kita ingin tampil cantik pakai make up, di saat itu juga karena internalized misogony, kita membatasi diri jangan sampai make up-nya ketebalan, dibatasi standar kita sendiri.

Ada banyak asumsi feminis yang berpendapat bahwa sulit bagi perempuan terhindar dari internalized misogony karena hampir semua aspek di masyarakat dibuat berdasarkan sudut pandang laki-laki. Kalau sudah begini, idealnya justru sesama perempuan diharapkan saling mendukung, saling memperbaiki mahkotanya, saling membantu untuk percaya diri di tubuh kita masing-masing, bukan malah saling menjatuhkan dan menjelekkan.

Nah, ini ceritaku dari sudut pandang sesama perempuan. Jika teman-teman laki-laki ingin berbagi sudut pandangnya dalam lingkungan sesama laki-laki, dengan senang hati silakan sampaikan di kolom komentar, ya! :D


Mendefenisikan Diri Sendiri

Orisinalnya, aku adalah perempuan pemalu (baca: Aku Introvert). Rendah diri, tidak ingin jadi perhatian orang, tidak nyaman dilihat-lihat orang lain tanpa alasan.

Kembali, telah ada standar cantik di masyarakat. Di keluarga inti, hanya aku seorang yang berambut keriting. Aku di dalam rumah, aku ke luar rumah rata-rata orang berambut lurus. Menonton televisi, artis-artis cantik berambut lurus. Iklan sampo, berambut lurus. Ke salon, disaranin lurusin rambut. Pada masa itu, kesadaran akan kecantikan yang relatif belum segencar sekarang, kebanyakan para penata rambut tidak membekali diri menangani rambut keriting seperti sekarang. Penata rambut maupun pemilik rambut umumnya meluruskan rambut keriting hanya karena kurang pengetahuan merawat dan menanganinya, tidak punya opsi. Aku menyimpulkan diri buruk rupa saat itu.

Flippin' through all these magazines, tellin' me who I'm supposed to be. Way too good at camouflage, can't see what I am. I just see what I'm not. (Demi Lovato - I Love Me)

Dulu saat kelas 6 SD, di antara berempat teman akrabku yang perempuan (aku tidak punya banyak teman di masa itu), aku memulai pubertasku duluan. Aku tinggi dan berbentuk duluan, bagiku itu memalukan. Menjadi berbeda itu selalu memalukan, indicator buruk rupa. Karena malu dan rendah diri, aku membungkukkan diri, tidak ingin berjalan tegap, tidak ingin mencolok saat duduk. Kemudian aku terkena skoliosis pada tulang belakang.

Kena skoliosis dengan kemiringan 30 derajat, saat SMP aku harus mengenakan spine brace alias penyangga badan. Aku tidak bisa pakai baju yang kusuka, aku semakin berbeda, aku tidak bisa main bola kasti sesukaku. Aku semakin jelek saja.

Abangku di rumah sering mengejekku “Kurus kau, Chik. Seperti triplek.” Ibuku juga suka bercanda, “Rambutmu itulah, Chik, seperti singa.” “Kau kayak ikan teri pakai helm.” Sobat, mungkin adik perempuan atau temanmu menanggapinya dengan menye-menye manja atau ikut tertawa juga, tapi percayalah perkataan kita bisa membangun ketidakpercayaan diri mereka.

Semakin bertambah umur, kepribadian terbangun, untungnya aku tumbuh di lingkungan yang mendukung. Aku menemukan diri satu per satu, aku menemukan keluargaku juga. Aku sudah cukup percaya diri kini, namun yang mematahkannya lagi adalah lelaki yang berpengaruh dalam hidupku. Kekecewaan terhadap abangku, ayahku, dan para lelaki yang pernah dekat denganku.

Para lelaki baik yang kukenal selalu mengabaikan dan membiarkan, “daripada menyakiti” kata diantara mereka. Maka yang selalu ambil peluang adalah para lelaki jahat yang dulu kukira baik yang mendekati namun sialnya selalu mengkhianati. Pada akhirnya aku sempat berkesimpulan lelaki yang takut menyakiti itu yang memberi peluang menyakiti. Yang tulus akan kalah dari yang berani. Entahlah, jika kalian para sobatku laki-laki menginginkan seorang perempuan mendampingimu, hanya tulus atau hanya berani tidak cukup, jadilah keduanya atau dia akan bersama lelaki berani yang jahat. Cerita-cerita dengan sobat lama, ternyata mantan pedekateku (pedekate pun mantan wkwk), masih terpaku denganku sampai sekarang. Aku kecewa, jujur, bukan karena rasa yang jadi hilang, terlebih karena ia yang dulu sempat sama perempuan lain. Kukira oke, dia sudah aman berpindah hati. Jadinya sekarang: Oh, jadi si perempuan itu dulu dia jadiin cuma jadi pajangan. Memangnya yang terlebih jahat dari: Sayang tapi bilang tidak dan tidak sayang tapi bilang sayang? Jangan-jangan lelaki yang mengkhianatiku juga begitu. Atau lelaki yang akan bilang sayang nanti adalah mereka yang sebenarnya gak sayang.

Aku tahu aku jelek.


Defenisi Jelek

Jelek adalah ketika kita jadi gemuk karena diejek kalau kurus. Jelek adalah ketika meluruskan rambut karena tidak mau berbeda dengan lingkungan. Jelek adalah ketika kita berpenampilan menarik namun hatinya penuh benci. Jelek adalah ketika kita berkilau karena takut diabaikan. Jelek adalah saat kita dibatasi oleh defenisi sendiri. Jelek adalah saat kita dibatasi oleh defenisi orang lain. Jelek adalah saat kita tidak membangun opsi untuk jadi diri sendiri, menyerah dengan opsi yang diberikan orang, tidak mau belajar cara merawat diri yang unik. Jelek adalah ketika kita dikuasai oleh ketakutan diri dan hilang fokus dari berbagai hal lain yang sebetulnya lebih penting. Jelek adalah ketika kita merasa paling cantik dan merendahkan orang lain. Jelek adalah ketika kita tidak sadar darimana kita mendefenisikan diri kita jelek atau cantik.

Sekali lagi: Karena tidak ada pakemnya, setiap orang bebas mendefenisikan seseorang secara berbeda-beda, relatif. Sebagaimana orang kita bolehin punya konsepnya sendiri, kita selayaknya juga bolehin diri kita sendiri untuk punya konsep kita sendiri. Tidak perlu takut orang lain tidak menerima kita, kita yang menerima diri kita sendiri. Yang parahnya kalau sudah takut tidak diterima orang, dia juga tidak menerima diri sendiri, tidak dicintai orang, dia juga tidak mencintai diriny sendiri. Faktanya, ketakutan kita terjadi saat kita ketakutan.

Merdekakan diri dari ikatan internalized misogony-nya kita, merdekakan dari opsi terbatas, merdekakan dari opini orang atas kita. Seorang sobat pernah berkata, “Semua orang itu cantik, gak ada yang jelek. Yang ada itu orang yang merawat dan yang gak rawat diri”. Kuncinya kalau mau merawat, harus terima dulu, harus sayang dulu.

Aku tidak merawat keritingku dan selalu digulung sembunyiin bentuk rambut karena aku gak sayang, aku gak terima. Kini aku terima, aku sayang, maka aku belajar gimana sih cara merawatnya, pakai produk apa. Dulu aku malu jadi diri, sekarang tidak malu lagi kalau duduk dan berdiri tegap. Dulu merasa berpenampilan menarik itu asosiasinya jelek, sekarang udah gak peduli gak batasin diri, merdeka dari stereotip, belajar dan jalanin rutinitas skin care malam, belajar cara rapiin alis. Haha! 

'Cause I'm a black belt when I'm beating up on myself. But I'm an expert at giving love to somebody else. (Demi Lovato - I Love Me)

Ayolah ketakutan-ketakutan itu tidak terjadi jika kita tidak takut. Ayahku yang keluarganya semua berkulit putih, baginya perempuan berkulit gelap itu menarik. Ibuku jadi istrinya. Dosenku yang killer, berkulit terang sekeluarga, curhatnya masih pengen punya suami berkulit gelap. Sobatku yang merindukan sosok ibu, perempuan berjiwa keibuan menarik baginya. Sobatku lagi, yang merindukan sosok saudara perempuan, perempuan yang ke-kakak-an jadi pacarnya, adikku yang ibu dan kakak-kakaknya bertubuh tidak gemuk, pacarnya selalu yang tipikal bertubuh tidak kurus namun percaya diri.

Jiwa dan kepribadian kita yang diasuh dan dibesarkan oleh bermacam latar belakang lingkungan dan gen, akan ada cocoknya dengan jiwa dan kepribadian yang dimiliki orang lain oleh latar belakang yang berbeda pula. Jadi diri sendiri saja, nanti yang tertarik adalah mereka yang jadi diri sendiri juga dan menerima diri kamu sendiri yang tanpa topeng. Dicintai luar dalam kan asik.

Jadi otentik, jadi orisinal. Kita dilahirkan dan dibesarkan begini oleh Sang Pencipta karena disediakan dan menyediakan untuk kebutuhan orang lain yang juga dilahirkan dan dibesarkan begitu untuk kebutuhan kita.

Kebetulan? Oh, tidak. Ini telah terjawab dari disiplin ilmu psikologi, biologi, sosiologi. Terlebih dari itu, telah dijawab lebih dulu juga oleh Tuhan yang kita yakini. Terjawab secara kebutuhan spiritual, emosional, dan intelektual. Apa lagi? Hukum peluang matematika juga ikut jawab.

Yasudah, aku mau sayang diriku sendiri. Jessica Pradipta Alam adalah perempuan keriting, ceria, suka cerita, suka penasaran, kadang diam mengamat, kadang suka mager, kadang juga yang rajin, peduli, overthinker yang imajinatif, suka meneliti tapi tidak teliti dan kadang ceroboh juga.

Ya, ada lengkung spesial di balik bajuku. Ya, rambutku seperti indomi dan terlihat kekanakan. Ya, aku suka warna-warni. Ya, aku jelek bagi sebagian lelaki. Ya, aku selalu dikhianati. Aku tidak peduli dan aku merdeka dengan defenisiku sendiri. 
Bagiku, bagi Tuhanku, Aku Cantik, cukup!




Jadi, apa defenisi (sebut namamu sendiri)?








Yang menjadi bagian dari inspirasi tulisan ini:
3. I Love Me - Demi Lovato
4. Sorai - Nadin Amizah
5. Good As Hell - Lizzo
6. Malam Sepi - Yura Yunita
7. Dear No One - Tori Kelly



Post a Comment

2 Comments

  1. ... dia segar sekali seperti malaikat yang baru mandi... hahhahaha, yaolooh kak, entah kenapa aku kok ngakak baca di bagian itu :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wkwkwkwk iya kak, biar gak serius-serius kali haha XD

      Delete