Kasih Tak Berstatus

Abang sulungku, tidak biasanya ia menelepon. “Halo, bagaimana skripsimu? Kapan wisuda, biar koko pulang sekalian urus semua-semuanya.” Aku pernah yang paling cinta, juga pernah yang paling benci dengan saudara lelakiku yang mengesalkan itu. Ia yang selalu mencaci penampilanku, yang selalu leceh tidak percaya atas semua prestasiku, yang menyayat hati setiap kusaksikan ayah dan ibu menangis dibuatnya, cakap besar adalah keahliannya, merendahkan orang lain adalah hobinya, semua membuatku memandang rendah dirinya. Sampai suatu saat semuanya terungkap satu per satu.

Bagaimana seorang pria yang selalu berkata sebaliknya karena gemas demi melihat wajah adik perempuannya cemberut, tanda sayang tanpa pernah membalas “I Love You” tulus adik perempuannya, yang selalu bangga di belakang, yang bergulat membangun citra demi jadi teladan bagi adik-adiknya, belajar sendiri paling depan menerjang hidup. Ia yang berbagi kekecewaan terdalamnya terhadap ayah dan ibu kepadaku di saat yang paling tidak tepat saja; saat aku telah menerima dan mengampuni ayah ibuku yang luar biasa kucintai.

Gambar tangan bergandengan
Sumber gambar: Liputan6.com

“Kau enak nanti, Chik. Kalau mau cari kerja ke sini, gak perlu ngekos, tinggal di rumah koko aja-”
“Ah, udahlah ko. Aku juga udah mikir-mikirin itu sampai nyimpulin gausah dipikirin dulu. Yang penting sekarang Chika wisuda aja dulu ya selesaiin skripsi.”

Cakap besar yang selama ini lekat pada lidahnya ternyata adalah sebuah motivasi agar aku bangga memilikinya, yang sayangnya selama ini selalu jadi tumpukan ketidaksukaanku yang mengira ia selalu cari muka.

Di pembicaraan itu, aku betul-betul bersyukur di balik sombongnya dia dan balasan sombongnya aku. Aku hanya berharap dia tidak berkecil hati dan menyadari ada “I Love You, I’m proud of you. Thank you for everything” di setiap balasan ketusku. Sampai-sampai aku gelagapan dan lupa bagaimana seharusnya menjadi seorang adik perempuan bagi abangnya. Yap aku telah menyadari bahasa kasih abangku, namun aku masih belajar membahasakan kasihku kepadanya.

Seketika di titik tertinggi enaknya jadi adik perempuannya, dijatuhhantamkan pesat keras ke lubang terendah. Aku patah hati, yang melebihi patah hati yang pernah ada. Ternyata maksudnya, selain mau datang ke wisuda, dia mau memulai persiapan perjalanan untuk hidup yang baru bersama kakak itu, pacarnya.

Aku jadi tertampar dan belajar lagi bahwa tidak ada sesuatu/seseorang pun yang benar-benar milik kita.

Memiliki dalam Ketidakmilikan

Kasih tidak harus memiliki karena ia telah memiliki sepenuhnya sejak jauh sebelum ia akhirnya paham dan melepas pergi sebagai bukti kasih.

Setelah berhasil keluar dari konflik besar di keluarga kami, berhasil menemukan satu-satu ayah dan ibuku, giliranku kehilangan diriku sendiri. Ibarat sudah  bersihkan getah di meja, lupa ternyata masih ada cipratan getah yang pekat lekat di baju sendiri. Ada luka traumatik yang tidak sengaja tergores saat terjun ke konflik yang kemarin. Ada perasaan terkutuk, trust issue, dan membenci diri sendiri.

Saat yang dibutuhkan, teman-temanku sedang mengutamakan yang bukan aku, maka nama selanjutnya tempat mengadu adalah kakakku yang ternyata juga mengutamakan lelakinya. Ya, gak ada yang salah dengan itu, dia tetap ada, dengan persen hadir yang lebih kecil saja.

Abangku? Bukan tempat curhat. Ia selalu sibuk mencari kebahagiaannya sendiri. Begitulah dulu aku berpikir. Adikku? Tidak semestinya aku mengganggu keseruannya dengan cerita sedihku.

Aku sendiri.

Emosi dan kekuatan karakter kita punya siklus, kadang di bawah kadang di atas, kadang kuat selanjutnya dibalas jadi lemah, lemah lama-lama kuat lagi. Maka aku yang sekarang lemah, diam-diam menyontek cara aku yang kok bisa kuat kemarin. Aku membedah diri sendiri.

Jadi, kan, kemarin sempat ayah dan ibu mau berpisah lalu damai lagi “demi anak-anak”. Ternyata retak lagi. Ayahku tidak tahan bersama, ibuku juga sama tidak tahannya. Aku mengutuk diri, kalau memang mereka bahagia dengan berpisah, ya sudah aku ikhlas, gara-gara aku mereka menderita. Kenapa diperumit kalau ada solusi simpel yang memenangkan semua pihak. Singkatnya aku menawarkan pilihan itu, rela mengorbankan harapan “keluarga bahagia lengkap”, namun ajaibnya mereka jadi memilih bersama.

Yap! Kenyataannya orang tua yang melahirkan kita sekalipun bukan milik kita. Sesuatu yang dimiliki, sesuatu yang digenggam tidak inign hilang, kita kira itu cara menyayangi, sebenarnya malah menyakiti. 

Teman-teman kita juga punya kehidupan, tidak ada satupun yang milik kita. Lucunya kok bisa aku kecewa karena merasa diingkari, padahal premis-premis, standar-standar, harapan-harapan kita akan kehadiran teman kita itu kita sendiri yang buat. Kenapa memaksa?

Saudara-saudara kita; abang, kakak, dan adik, juga bukan punya kita. Mereka miliki diri mereka atas kehidupan mereka sendiri. Kenapa kita yang malah menjadikan diri sebagai raja/ratu yang dilayani sesuai yang kita mau, yang kita harap?

Bahkan diri kita sendiri pun bukan milik kita. Kita tidak bisa mengatur kejadian apa yang menimpa diri kita di samping semua prinsip, pilihan, perencanaan di hidup kita. Things happen. (baca juga: Tentang Luka).

Kabar baiknya: Di samping things happen, ada everything happen for a reason. Tidak usah diburu, tidak harus langsung mengerti alasan ini semua terjadi pada kita itu apa. Untuk apa kita dilahirkan begini, untuk apa kita ada di keluarga begini, untuk apa kita berteman dengan mereka, untuk apa kita ada dalam kehidupan orang lain, untuk apa kita mengenal Tuhan yang kita percaya, niscaya semuanya terjawab saat kita tidak menggenggamnya. Saat kita kira kita sangat sayang pada diri sendiri, kejadiannya malah jadi menyakiti diri sendiri juga.


Hidup itu sandiwara, yang nyata ternyata delusi. Terlarut posesi berujung kau gila sendiri. Jika kau tak dapatkan yang kau impikan bukan berarti kau telah usai. (Isyana Sarasvati - Untuk Hati yang Terluka)

Kasat mata kita tidak memiliki apa-apa, kan? Coba deh akui bahwa kita tidak memiliki semuanya, segera entah bagaimana dengan cara itu kita dipulihkan dan mendapatkan diri kita kembali. Lalu satu per satu semua di luar diri kita juga kembali. Rela dan ikhlas atas semua yang terjadi, atas semua yang diambil, atas semua yang tidak dimiliki.

Selalunya yang terjadi padaku adalah: Aku memperoleh saat aku tidak menginginkannya lagi.

Status yang Membatasi

Sungguh sensitif saat ada yang berkata, “Nah, jadi kalau kamu ke sini ngapain? Gebet dia ya?”

Kemarin-kemarin, aku dan sekelompok teman mau mengunjungi teman seperkelompokan itu yang sedang pahit hati di luar kota. Lalu seorang sobat yang menjemput kami di kota tujuan heran melihatku. Si A, B, C yang bersamaku adalah teman kompaknya, ia pun berusaha mengidentifikasi aku sebagai siapa-nya yang orang yang kami kunjungi ini. “Oh, gebetannya ya?”. Dia yang kami kunjungi ini adalah adik sekampusku, pernah beraktivitas bersama, teman-teman kelompoknya ini adalah teman curhatku juga, aku ingin memberikan sesuatu yang bisa kuberi untuk kepulihan pahit hatinya.

Memangnya pertolongan, perhatian dan kasih sayang itu cuma boleh, cuma bisa dikasih ke orang yang kita kasihi sebagaimana kasih asmara? Seekslusif itukah tindakan kasih? Kok jadi tidak manusiawi, mengartikan sesempit itu. Sedih :”)

Ada seorang yang berprofesi sebagai dokter di klinik dia sendiri. Di tengah jalan, di luar, ia menemukan orang sakit butuh pertolongan. Apa iya karena si yang butuh pertolongan ini bukan pasiennya maka ia tidak membantu? Bagaimana dengan seorang adik di kampus yang butuh arahan pengalaman seorang kakak. Apa iya karena dia bukan adik kandung kita, kita tidak bantu mengarahkannya? Oleh karena seorang lelaki muda sakit dan butuh pertolongan mendesak, apa iya karena kita bukan pacarnya kita tidak boleh menolong? Seorang kakek berdiri di bus, karena bukan sedarah dengan kita, kita tidak perlu menawarkan tempat duduk untuknya? Orangtua bertanggung jawab memberi makan anak-anaknya, tidak bolehkah membantu sedikit untuk anak-anak lain yang lapar di depan mata? Kita tidak bisa melayani orang di depan mata kita hanya karena dia bukan sasaran pelayanan organisasi kita?

Bagi kita yang pernah atau tahu rasanya ditinggalkan, rasanya dikhianati, rasanya kelaparan, rasanya sakit, rasanya sendiri tidak ada yang bisa diandalkan, maaf, kita tidak akan membiarkan itu semua terjadi pada orang lain yang kita kasihi, hanya jika kita adalah seorang manusia yang manusia. Bukan anaknya anjing (hehehe).

“Kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri” Artinya kalau kita makan, orang lain juga harusnya makan. Bukan berarti orang lain makan, kita tidak. Bukan berarti kita makan, orang lain tidak. Self-Love beriringan dengan Sesame-Love. Masa iya, tunggu kita kenyang baru ngasih makan orang di saat urgensinya orang lain ini sekarat gak bisa ditunggu lagi. “Tunggu” bukan kata yang digunakan untuk mengelak demi keserakahan. “Tunggu” bisa digunakan untuk diri kita yang sama sekaratnya dengan orang lain.

Kalau boleh berpendapat berdasarkan pengalaman (yang belum seberapa ini), Tuhan tidak pernah eksklusif karena Dia mengasihi semua manusia-Nya, manusia-Nya aja yang eksklusif serakah gak mau bagi-bagi kasih yang dia udah dapat. Jangan sampai kitanya jadi mau Tuhan itu untuk kita saja. Kita pun jadi tidak berkenan lagak pasti masuk surga.
Karena dia bukan seagama dengan kita, dia gak boleh rasain baiknya kita sebagai persembahan yang hidup?

Lalu setelah itu kita boleh mempertanyakan apa gunanya status kalau memang begitu.

Kasih Tak Berstatus

Subjek praktiknya kasih tak berstatus di dalam hidupku adalah bagaimana kami saling mengasihi. Dia si saksi kunci, sobatku bernama Hendra Gozali.

Ngomong nyambung ya jadi teman sepermainan. Makin nyaman ya jadi ingin memiliki. Dikecewakan kemudian cari diri yang ternyata ke-GR-an sama ekspektasi sendiri. Mendengar setiap perjalanan, dia kehilangan, aku ikut hilang. Aku tertawa, dia lebih tertawa. Nyinyir sama orang, barengan. Dia menangis, aku tetap di sisi. Aku menangis, dia perih di dalam hati. Dia menang, aku turut gempita. Aku menang, dia juga senang. Berantam, berdebat, saling tuduh, sampai semuanya jadi lelucon, sudah pernah. Menurutmu kami apa?

Dulu aku semester satu, dia semester tiga. Ternyata dia lagi berbagi kasih dengan pacarnya. Aku marah karena tidak diberitahu. Aku salah, tidak seharusnya aku marah. Aku minta maaf. Dia? Tanya saja dia, aku tidak tahu isi hati manusia.

“Ada yang aku ceritakan ke dia, ada yang aku ceritakan ke kau, Jes,” jawabnya waktu aku tidak terima dia curhat dan berbagi hidup, menghabiskan waktu denganku, yang adalah teman, dibandingkan pacarnya. “Praktiknya kan aku selingkuhanya?!” Ya, pada saat itu dulu aku berpikir begitu. Aku sebagai perempuan membela sesama perempuan, tidak mau digitukan juga. “Berarti dia belum jadiin pacarnya sebagai temannya juga, Jes,” kata sobatku yang lain menanggapi.

Bagaimana kisah kehidupan dia di keluarganya membuatku makin mengerti sudut pandang lain, makin menghargai keluargaku juga. Sampai bagaimana kisah ia kehilangan orang-orang yang dia sayangi dan yang menyayanginya di keluarga, aku sempat pernah mempertanyakan Tuhan. Sebetulnya gunaku di tengah kehidupannya untuk apa toh aku hanya seorang teman. Mau bantu lebih, takut kejauhan ikut campur. Mau bertindak merasa dianggap, takut ternyata tidak sedianggap itu. Aku terlebih perih menyaksikannya sedih. Seperti melihat orang kecelakaan penuh darah di depan mata, tapi tidak tahu harus berbuat apa. Terlebih dia adalah yang kau sayangi.

Pengalaman ajarin aku untuk tidak terlalu tinggi menilai diri, membatasi diri adalah cara terbaik. Waktu itu ayahnya pergi. Aku ingat saat sobatku ini ingin aku temani. Aku malah yang sok iya, sok prioritas mendahulukan studi dengan alasan utama sebenarnya karena merasa “cuma teman” tidak mau mengambil posisi yang aku kira itu peran seorang pacar, merasa tidak layak dan tidak berhak untuk mengiyakan. Yang pas sekarang-sekarang kami membahas peristiwa itu lagi, ternyata dia semengandalkan itu untukku hadir sebagai kasih, dan saat itu aku punya kapasitas, tapi aku mengabaikan suara hati hanya oleh karena traumatik dihantui oleh “status”. Jelas ini tidak manusiawi bagi diri maupun orang lain. Benar, aku tidak memaafkan diri sejak saat itu sampai baru-baru ini kami membicarakannya dan selesai.


If we are meant to be. Yeah we'll find our way. But now, let it be. (Pamungkas - I Love You but I'm Letting Go)

Ada kekuatan doa saling mendoakan, ada kegerakan iman kami masing-masing dalam perjalanan kami. Kemudian benar saja, terungkap satu-satu. "Tentang Kehilangan" tokoh utamanya terinspirasi dari sobatku ini. Dari pemahaman itu pula yang menjadi bekalku bertahan untuk kedua orangtuaku yang hampir berpisah di kemudian harinya. Perbedaan kontras bagaimana latar belakang, cara kami dibesarkan, membuat kami saling berbagi nilai-nilai hidup. Aku memetik pelajaran darinya, demikian pula semoga dia memetik pelajaran dariku.

Sisi terburuknya dan terburukku sudah saling lihat, sisi terbaiknya dan terbaikku juga sudah. Menerima dan percaya, setia dan ada, itu adalah harta karun yang kami sama-sama belajar di dalam pertemanan ini. Perdebatan yang dulunya adalah hal merusak hari, sekarang-sekarang jadi yang mewarnai hari. Saling menerima kekurangan masing-masing, saling memberi nasihat untuk menjadikan diri yang lebih baik, sungguh teman yang mendukung.

“Cantik harus setiap harilah, Jes. Kok malu?” “Kancing kemeja itu paling bawah ya di kancing kedua, jangan kancing ketiga, Hen. Gak rapi. Kalau culun itu kancing satu. Kancing dua, pas.”

“Gak semua harus kau pertanyakan, Jes. Percayalah, jangan pikir yang macam-macam.” “Ya sudahlah, Hen. Sekali-sekali mengalah juga gak rugi kok. Kalau dia gak baik, kita ajarin cara baik dengan terus menjadi baik.”

Walaupun ada “Halah” di setiap respon nasihat, kami juga diam-diam saling turut.

Pagi tadi, 16 Februari 2020, aku mengantarnya ke bandara dia mau menggapai cita-cita di ibukota. Saat tiba aku cari dan menemukan tantenya di depan mata, “Tantenya Hendra, ya?” “Iya, kok tahu? Kamu siapa?” “Aku temannya!” jawabku bangga. Menjadi teman adalah kehormatan, pengakuan, kepercayaan, kemerdekaan dalam kasih, ketulusan dan lambang kesetiaan. Oh, satu lagi yang terpenting: Tiang Doa.

Yang ada kan “Kesetiakawanan”, bukan “Kesetiapacaran”. “Teman hidup”, bukan “Pacar hidup”. Bestfriend itu de bess.. yang paling baik dari jenis friend kan (boy/girlfriend). Well, yeah, he is my bestfriend who is a boy.. to be exact, a man.

Aku tidak tahu aku siapa di dalam hidupnya. Tapi aku tahu dia siapa di dalam hidupku. Dan itu alasan yang cukup untuk aku mengasihi. Teman bukan status. Contoh kalimat “Mau kemana? Siapa yang temani?” Teman adalah peran. Pacar adalah teman dalam pendewasaan hubungan pengenalan untuk hubungan yang lebih serius. Suami/Istri adalah teman seperjalanan hidup. Dalam setiap status hubungan, kita adalah teman. Yang membedakannya adalah tanggung jawab dan konsekuensi yang mengikutinya.

Kasih itu tanpa pamrih, kasih itu rela, kasih itu saat membahagiakan orang lain adalah bahagia kita. Kasih bukan transaksi yang menuntut balas, kasih tidak kondisional jika ia baik kita baik. Kasih itu memerdekakan dan dimerdekakan.

Jika dulu aku yang menuntut kepastian, aku tidak dimerdekakan dan tidak pula memerdekakan. Yang aku lakukan dulu berarti bukan kasih. Kalau kamu para pemudi yang mengharapkan balas kasih dari orang yang kamu kasihi, coba periksa lagi. Kita ingin status karena ingin membahagiakannya atau ingin membahagiakan diri. Kita menggenggam erat karena ingin dia bahagia atau malah supaya kitanya yang bahagia, yang peroleh rasa aman, yang dimiliki. Kerinduan memiliki itu tidak salah, kerinduan dikasihi juga boleh saja, kita juga adalah manusia yang butuh dikasihi selain berperan mengasihi. Poinnya jangan sampai keinginan dan kerinduan itu berubah menjadi tuntutan yang menghalangi kasih.

Lagi, tidak ada seorang/sesuatu apapun yang benar-benar milik kita. Sesuatu yang dimiliki, sesuatu yang digenggam tidak inign hilang, kita kira itu cara menyayangi, sebenarnya malah menyakiti.  Menyakiti yang digenggam maupun menyakiti diri kita sendiri yang menggenggam.


Dengarlah kawan di sana bercerita, pelan dia berbisik, pelan dia berkata-kata. Dan hari ini takkan kau menangkan bila kau tak berani mempertaruhkan. Walau tak semua tanya datang beserta jawab dan tak semua harap terpenuhi, ketika bicara juga sesulit diam, Utarakan, utarakan, utarakan. (Banda Neira - Utarakan)

Perempuan, kalau kita sepakat laki-laki memiliki hak dan kehormatan untuk menentukan siapa pasangan mereka, tidak seharusnya kita memaksa melainkan percaya pada apa dan siapa yang mereka butuhkan. Perempuan, kalau kita sepakat laki-laki dan perempuan mempunyai andil yang sama, setara, silakan kamu yang memulai duluan. Bukan pakai kode lalu menuduh laki-laki tidak peka. Nah kamu mau pilih prinsip yang mana, silakan. Ingin menambah pilihan baru, silakan juga. 

Laki-laki, kalau kamu ingin perempuan itu milikmu dan tidak menaruh hati ke orang lain, nyatakan dan mulai hubungan, atau setidaknya aku sarankan untuk dibicarakan. Jangan cemburu tapi tidak mau memberi status. Karena status berguna untuk memberi batas dan arah. Perempuan yang berprinsip bahwa laki-laki sebagai penentu, akan memberi dirinya sebagai pendamping kepada mereka yang berani menentukan.

Laki-laki, kalau kamu merasa perempuan dan laki-laki memiliki andil yang sama, ingin ditentukan oleh perempuan dalam memulai hubungan, jangan kecewa jika ia memulai hubungan dengan orang lain atau jika ia diajak memulai hubungan oleh orang lain.

Nasihat ini tentu saja bukan sebuah perintah ataupun rumusan yang jika dilakukan akan menghasilkan keadaan yang pasti sesuai ekspektasi. Yang menjadi poin utamanya jika aku boleh membantu adalah bahwa setiap pilihan ada konsekuensi dan risiko. Tidak ada yang enaknya saja yang bisa kita peroleh, dunia tidak akan berpihak pada kita yang serakah. Kita mau dia tahu perasaan kita, kita mau sesuatu daripadanya untuk kita, tapi kita tidak memberitahunya. Tidak bisa sebuah keadaan yang kita inginkan terjadi jika menuntut orang lain tanpa menuntut diri sendiri juga, berbuatlah sesuatu. 

Teman-teman, kalau memang kita adalah teman, membicarakan hal ini seharusnya tidak menjadi sebuah ketakutan. Teman berarti menghormati, mengakui, memercayai, memerdekakan dalam kasih, menjadi lambang ketulusan dan kesetiaan. Kejujuran.

Trust issue dan trauma yang kumiliki dalam "Tentang Luka" telah terobati. Jika ia yang kita perlakukan sebagai teman malah jadi tidak teman, ya dia berarti bukan teman. Lepaskan jika itu yang dia mau, jangan menyakiti diri dan menyakiti orang lain. Lagipula tidak ada yang sia-sia, kita berhak memiliki teman yang tetap tinggal dan tidak menyerah untuk kita, teman kita yang tetap tinggal untuk kita itu pun berhak atas kita yang setia padanya. Kepemilikan dalam ketidakmilikan, tidak kondisional, rela melepas, membebaskan dan dibebaskan.

Yang perlu diingat: Semua sesuatu/seseorang adalah milik Sang Pencipta, otoritas Dia. Kita adalah manajer yang dipercayakan untuk saling menjadi berkat.



Selamat mengejawantahkan kasih sayang setiap hari!



Daftar lagu yang menjadi bagian dari inspirasi tulisan ini:
1. Pamungkas - Sorry
2. Pamungkas - I Love You but I'm Letting Go
3. Andy Grammer - Best Of You
4. Isyana Sarasvati - Untuk Hati yang terluka
5. Banda Neira - Utarakan





Post a Comment

0 Comments