Pengabdi Patriarki


Dalam sejarah Indonesia, perempuan sudah pernah menjadi pilot, wartawan, teknisi, arsitek, dokter, auditor, bahkan presiden. Perempuan juga sudah menikmati pendidikan yang merata, bahkan kalau mamantau jumlah murid di beberapa kelas dalam sekolah, jumlah murid perempuan melebihi laki-laki. Jadi terbersit, mengapa PBB masih mengangkat isu kesetaraan gender dalam Sustainable Development Goals, apa lagi yang sedang disuarakan para feminis, belum cukup independenkah wanita hingga masih perlu struktur  Pemberdayaan Perempuan di berbagai badan?

Apakah perempuan jaman sekarang belum cukup baik juga?

Sumber gambar: idntimes.com


Perempuan Terhadap Laki-Laki

Belakangan aku mempertanyakan peran, posisi, kehadiran laki-laki terhadap perempuan, maupun perempuan terhadap laki-laki. Benar kalau dibilang dua jenis ini berasal dari planet berbeda. Aku dipersaksikan seorang adik perempuan yang menerima kekerasan fisik dari abang kandungnya sendiri, ia adalah tanteku. Dengan pemahaman posisi si adik perempuan yang memiliki trust dan menjadikan saudara laki-lakinya sebagai sandarannya yang paling aman, malah ia yang menerima kekerasan fisik dari sosok itu, menimbulkan pandangan betapa iblisnya sisi menyakitkan ini.

Aku juga mendengar (secara tidak langsung) cerita sepupuku, perempuan, yang umurnya jauh dariku, sudah berkeluarga. Ia yang matanya dihantam oleh kepalan adik kandungnya laki-laki. Ya tidak mau naif, mungkin si kakak perempuannya ini kelewatan. Tapi serusuh, semengesalkan, semengganggunya kehadiran kakak perempuannya, aku tidak mengerti sih sejauh apa akal sehat dan penguasaan diri yang laki-laki punya. Secara budaya yang dibesarkan dengan nilai luhur sebagai pelindung, bisa-bisanya mengerahkan kekuatan fisik lelakinya menyentuh kerapuhan perasaan perempuannya. Kemudian, ketika konflik ini sudah selesai, oleh orang yang sama, ia begitu menyayangi keponakannya yang adalah anak-anak dari perempuan yang dia jotos tadi. Pengalaman mengajarkanku bahwa laki-laki itu binatang dalam daging mereka sekaligus malaikat dalam hati mereka. Membingungkan dan meresahkan.

Juga menyaksikan sepupuku yang lain, juga di umur berkeluarga, ia yang dihantui ketakutan dan kecemasan, apakah suaminya suka, apakah kalau begini suaminya akan marah, apakah lipstiknya kurang tebal untuk mendampingi suaminya. Tidak merdeka, tidak mampu bersikap, memudarkan jati dirinya. Suaminya adalah faktor utama dalam pertimbangan hidupnya. Menjadikan diri sebagai pelayan yang cukup becus bagi suami.

Juga seorang perempuan yang berpengaruh dalam hidupku, ia mengungkap sisi kelamnya sebagai perempuan yang dituntut untuk mampu melayani (seksual) persis seperti yang dimau suaminya, meskipun itu “kotor”. Lagi, di saat yang sama kita bisa menyaksikan binatang itu juga adalah malaikat ketika menghadapi anak-anaknya di rumah. Nilai-nilai budaya dan agama yang dianut seorang perempuan ini sebagai pendamping sekaligus membawa nilai terang dalam keluarga membuatnya dilema menghadapi kondisi yang begini, dia harus bagaimana. Aku juga belajar bahwa tanggung jawab seorang perempuan untuk menjaga martabat lelakinya, turut menjaga nama baik keluarga (termasuk di dalamnya menutupi aib kebinatangan suaminya?).

Belum lagi aku juga mendengar cerita berbagai konflik ketidaksetiaan suami dari keluarga teman-temanku. Mereka yang senyumnya paling lebar di foto pernikahan, yang membatasi istrinya bergaul supaya tidak melenceng, ia pula orang yang sama yang mematahkan kesetiaan komitmen pernikahan.

Sungguh malang menjadi seorang perempuan jika defenisinya adalah seperti itu.

Dan ya, ini masih pada lingkaran keluarga besarku, belum termasuk yang aku tidak tahu, belum termasuk cerita keluarga lain di kota ini, provinsi ini, Indonesia ini. Dan kesaksian yang kupaparkan ini tidak ada satupun yang melaporkan ke ranah hukum, atau setidaknya kepada tetangga sekalipun. Mereka adalah perempuan yang menutup mulut demi menjaga harkat keluarga, termasuk kepada warga rumahnya sekalipun (anak-anak), yang selalu menyelesaikan konflik secara “kekeluargaan”. Perempuan menanggung ini semua seorang diri atau mungkin sesama perempuan malang lainnya, aku tidak tahu.

Menegaskan kembali, sebagai seorang gadis yang (awalnya tidak sengaja) mengamat, benar kalau dibilang dua jenis ini berasal dari planet berbeda. Aku pernah sampai pada kesimpulan bahwa laki-laki adalah makhluk bodoh tak berperasaan..

atau perempuan adalah si makhluk bodoh berperasaan.

Laki-laki terhadap Perempuan

Setuju! Ini semua tidak bisa dititikberatkan kepada satu pihak saja. Ada banyak faktor yang mempengaruhi perilaku perempuan dan perilaku laki-laki.

Suatu waktu, saya menumpang mobil paman satu gereja, kebetulan dia juga seorang pekerja yang domisili Medan, kami berangkat dari Pematangsiantar sehabis akhir pekan. Ia adalah pemimpin komunitas bapak-bapak gereja, seorang suami, seorang ayah dari dua anak perempuan, yang setelah berbincang juga ternyata adalah seorang alumni dari almameter yang sama denganku, seorang pemimpin dalam pemuridan komunitas kampus yang sama, dan memiliki visi dan pemahaman yang searah.

Aku berbagi kondisi tahap pra-alumni dalam binaan, ia berbagi kondisi tahap pra-nikah dalam binaan waktu dulu, cerita sebelum ia menikah, terkait yang saat ini beliau merindukan satu anak lagi dalam keluarganya. Aku bercerita sekilas liku kehidupan kampus dan juga perjalanan memberi nilai diri terbaik kepada lingkungan pertemanan, beliau cerita sekilas liku perjalanannya dengan istri dan serunya memberi dampak nilai terbaik dirinya kepada rekan kerja dan masyarakat, masih dengan garis arah pandang yang sama. Nyambung dan seru.

Pandangannya membuatku memandang bahwa perempuan adalah pendamping laki-laki dalam memenuhi visi hidupnya. Aku melihat keadaan yang ideal antara Tulang dan Nantulang (pasangan tulang) ini. Bagaimana laki-laki di posisi tulang punggung, pemegang setir utama, perempuan sebagai tulang rusuk, mendukung dan menyediakan keperluan laki-laki menuju pencapaian dan cita-cita hidup bersama. Mereka sama-sama saling melayani dan sama-sama melayani di ladang masing-masing (tulang di tempat kerja dan masyarakat, nantulang di rumah dan sekolah tempat ia mengajar).

Ya, aku percaya keseluruhan ceritanya pasti tidak semulus itu, mustahil tidak pernah ada konflik dan perdebatan. Yang aku belajar adalah mereka tidak saling menuntut, mereka saling percaya dan saling menghormati. “Bersyukur sih nantulangmu (menyebt istrinya; bibi dalam bahasa batak) tidak banyak tuntutan, bayangin aja sudah cuma Sabtu Minggu tulang ke Siantar, itu pun seringan di gereja urus panitia natal. Coba kalau nantulang bukan yang berlatar belakang mengerti pelayanan juga, apa enggak jadi ribut, ya, kan?”


Setelah panjang cerita, ada pernyataannya yang menarik, menyentilku hingga sekarang. “Tulang (menyebut dirinya; paman dalam bahasa batak) dulu juga sempat ditawarin kerja di Sumba, tapi tidak ah. Tulang tahu weakness-nya dimana, kalau sejauh itu takutnya beristri lagi.”


Oke, tolong jangan salah sangka dulu. Ada kalimat panjang setelah dan sebelum kalimat itu. Pernyataan itu pun tidak persis disampaikan seperti itu, hanya kupapar berdasar ingatanku saja. Tapi dengan isu yang sedang merambat dala pikiranku, mendengar pernyataannya sekejap aku juga jadi berpikir dalam hati. “Semua laki-laki sama saja”. Tapi, kembali, laki-laki juga manusia.

Entahlah, aku memang tidak akan tahu rasanya jadi laki-laki, apa dan bagaimana rasa dan posisi seorang ayah. Bagaimana yang hormon tubuhnya menjadikan seks sebagai kebutuhan primer, yang punya tanggung jawab lebih, yang logis dalam mempertimbangkan semua hal mutlak antara hitam dan putih, yang adrenalinnya mudah terpicu, yang fisiknya kuat, yang sulit mengungkapkan sisi sentimentilnya semudah perempuan.

Apa lagi yang bisa kita harapkan? Sebagaimana laki-laki tidak sempurna, perempuan juga tidak sempurna. Kita semua manusia yang logis perlu emosi (laki-laki butuh perempuan), yang emosional perlu logis (perempuan butuh laki-laki).

“Tulang tahu weakness-nya dimana, kalau sejauh itu dengan nantulang takutnya beristri lagi.”

Kupetik, kuncinya: Tahu (menempatkan) diri.


Pengabdi Patriarki

Yang perlu diklarifikasi: Budaya tidak bisa diasosiasikan secara langsung kepada agama dan kepercayaan tertentu. Tamil umumnya Hindu, namun Tamil juga ada yang Kristen. Amerika umumnya Kristen, tapi ada juga Islam dan atheis. Iran umumnya Islam tapi ada juga Budha dan Katolik. Nilai agama dan kepercayaan menimbulkan standar dan arah pandangan (kiblat) yang sama apapun budaya dan dimanapun kita berada (worldview).

Feminisme, mungkin bisa dikatakan dari budaya liberal, tapi bukan dari agama tertentu. Budaya timur atau budaya barat, ada banyak faktor perkembangan peradaban yang membentuk tradisi dan perilaku, namun persoalan berbeda dengan perkembangan kepercayaan dan agama.

Ada banyak perbedaan paham mendefenisikan konsep feminisme. Jika feminisme diartikan sebagai paham yang menyuarakan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan sebagai manusia, aku ikut di dalamnya. Jika feminisme diartikan sebagai paham yang menyuarakan dominasi perempuan di atas laki-laki, aku tidak ikut di dalamnya.

Sepakat, bahwa perempuan memiliki harkat dan telah berharga di setiap kepercayaan kita. Namun yang harus kita perangi sama-sama adalah keberadaan patriarki, bukan memerangi laki-laki, apalagi perang sesama perempuan, bukan!

Patriarki (KBBI) secara psikologis diartikan sebagai perilaku mengutamakan laki-laki daripada perempuan dalam masyarakat atau kelompok sosial tertentu. Misal ada dua kandidat, seorang perempuan dan laki-laki, dengan poin yang sama untuk menduduki sebuah posisi kerja. Jika si manajer memenangkan kandidat laki-laki karena dia laki-laki, itu patriarki. Misal yang lain jika seorang perempuan dipidanakan oleh karena membela dirinya dari kejahatan laki-laki sedangkan seorang laki-laki yang menjahati perempuan diproses secara kekeluargaan agar tidak dipersalahkan, itu patriarki.

Yang sebaiknya kita suarakan adalah nilai kemanusiaan yang tidak dihargai oleh karena dia perempuan. Perempuan juga manusia dan sama berhaknya atas HAM sebagaimana laki-laki pun dilindungi HAM.

Perempuan berhak memiliki hidupnya, menghidupi cita-citanya, mengenakan jati dirinya tanpa dicibir dan dikucilkan oleh masyarakat hanya oleh karena dia perempuan. Perempuan berhak dilindungi bukan dibatasi.

Jika ia ingin melanjutkan studi atau menikah, atau keduanya, baiknya itu karena pilihan hidupnya. Jika ia memilih tidak menikah karena ingin memberi dirinya demi sebuah misi, jika ia ingin menikah demi memenuhi panggilan hidup untuk mendampingi laki-laki, jika ia memilih untuk terus berkarir, jika ia memilih untuk menjadi ibu rumah tangga, atau jikapun ia memilih menjadi ibu yang berkarir baiknya itu karena pilihan hidupnya, siap menghadapi konsekuensi atas setiap pilihan yang diambilnya, bukan karena dia diharuskan begitu oleh orangtuanya karena ia perempuan, bukan karena dia diwajibkan begitu supaya tidak dikata-katai orang karena ia perempuan. Paradigma seperti ini yang seharusnya disuarakan bersama.

Secara eksternal, setiap badan sedang memerangi konsep patriarki yang demikian. Perempuan rentan akan stigma dan stereotip sehingga didukung secara moril untuk berani menjadi manusia perempuan, manusia yang berdaya, merdeka, dan berhak memilih atas hidupnya.

Jadi, jika ditanya apakah perempuan jaman sekarang belum cukup baik juga, ini soal mental masyarakatnya. 

R.A. Kartini dan Dewi Sartika sudah memperjuangkan emansipasi perempuan yang ditegaskan lagi dalam pendidikan, Maria Maramis sudah memperjuangkan hak perempuan untuk bersuara dan berpendapat dalam pemerintahan, Cut Nyak Dien sudah berani maju memperjuangkan Indonesia dari penjajah, lalu kita, perempuan jaman sekarang, tidak bisa menjadi manusia berharga yang membela haknya sebagai manusia?

Secara spiritual kita telah diangkat, secara institusional kita telah difasilitasi, secara sosial kita masih dibela, mengapa malah kita sendiri yang membatasi diri?

Tulisan ini aku tujukan secara khusus kepada para perempuan yang sedang berjuang menghidupi haknya, kepada semua anak perempuan yang sedang mencari defenisi diri yang tidak didahulukan orangtuanya, kepada semua gadis muda yang sedang dilema dalam pilihan hidupnya, kepada semua ibu perkasa yang sedang melindungi keluarganya.

Menjadi perempuan adalah anugerah, menjadi perempuan berarti menjadi tonggak bangsa, tonggak keluarga.



Terima Kasih!




Post a Comment

0 Comments