Ayah dan Ibuku Manusia

Aku salah (baca: Apakah Ayah dan Ibuku Manusia?). Ayah dan Ibuku, Ayah dan Ibu kita bukan malaikat, mereka adalah manusia sama sepertiku dan sepertimu.

Hari ini, 6 Januari 2020 adalah hari ulang tahun pernikahan mereka yang ke-27. Ini bukan tentang mereka berdua saja, ini tentang kami sekeluarga; kami empat bersaudara dan Ayah Ibu. Ya keluarga ini, kami anak-anaknya tidak akan ada jika mereka tidak menikah, kan? Maka hari pernikahan, lebih daripada hari mereka berdua diberkati di depan jemaat, adalah hari keluarga ini terbentuk.


Dua puluh tujuh tahun cerita mereka: 26 tahun bersama abangku, 24 tahun dengan kakakku, 23 tahun denganku, dan 19 tahun adikku. Orangtuaku menyaksikan kami semua, abangku menyaksikan kami bertiga lahir, demikian-demikian adikku yang menyaksikan kami yang sudah berjalan duluan. Setiap anggota tentu saja memiliki sudut pandang masing-masing.

Dulu, aku kira abangku adalah anak paling beruntung mendapatkan episode terbaik untuk hidupnya, ia yang paling berkecukupan, yang duluan diduluankan, ia yang punya banyak pilihan, melakukan yang ia suka, yang ia mau atas hidupnya, ia yang paling didengarkan suaranya di rumah kami.

Jika abangku adalah anak raja, maka kakakku adalah putri raja. Ia melakukan yang ia mau, bebas menjadi diri tanpa ada bahan perbandingan. Selisih satu tahun dan sesama perempuan, membuatku beberapa kali satu sekolah, satu lingkungan dengannya. Aku tidak bisa menjadi diriku, atau bahkan menemukan siapa diriku di tengah masyarakat yang membandingkan aku dengannya. Kakak melakukan A, aku tak ingin orang berkata aku seperti kakak jika nanti melakukan A, aku melakukan B aku tak ingin orang berkata aku berbeda dengan kakak dan bukan menjadi diriku sendiri karena tidak mau dinilai A. Ia sering cemburu denganku, padahal aku begitu jelas menyaksikan ibu yang selalu mendahulukan kepentingan untuknya di ‘balik layar’.

Apa yang tidak dicapai abang dan kakaku akan segera dikirim ke aku. “Kau harus begini, kau harus begitu, aku dahulu, jangan seperti aku, jika aku jadi kau, bersyukurlah kau punya kakak abang”. Di saat mereka ingin menjadi aku, aku justru ingin menjadi mereka. Melakukan sesuatu tanpa tuntutan, punya hak istimewa, punya pilihan. Yang mereka katakan bukan aku tidak memikirkan sebelumnya, justru karena aku memikirkannya dengan alasanlah aku tidak ingin seperti beberapa yang mereka lewatkan. Contoh: Aku kursus berenang karena kebutuhan kesehatan dan pernah dilatih klub atlet satu hari dan ditawarkan untuk menjadi atlet renang. Aku menolak karena aku tidak menjadikan renang sebagai kompetisi melainkan rekreasi diri dan kepuasan dalam kesehatan. “Bodoh. Aku karena tidak punya kesempatannya. Kau punya peluang, tidak diambil. Kalau aku jadi kau..” Maka aku akan menjawab dalam hati, silakan jadi dirimu salahmu kau tidak mau, kenapa yang kau mau harus aku mau. Aku melakukan yang kumau, silakan padamu. Peluang itu selalu ada, kau saja yang tidak mau menjemputnya. Kegagalanmu kok jadi tanggung jawabku.

Mereka kuliah di mana mereka mau dan mampu, mereka berkarir dimana mereka mau dan mampu. Aku kuliah di mana yang orangtuaku mampu dan aku jadi mau. Aku dan adikku menyaksikan pergulatan dan kesusahan “di balik layar” dari yang mereka berdua lihat dan terima. Abangku yang merasa paling tidak didukung orangtua dalam perjuangan karirnya, aku dan adikku yang melihat ayah ibu cari uang kemana-mana, kami rela makan nasi telur untuknya. Kakakku yang merasa ditinggalkan dalam perjuangan hidupnya, aku dan adikku yang menyaksikan air mata ayahku yang hendak menyusulnya saat operasi besarnya, menyaksikan ibuku yang merendahkan dirinya demi mendapat bantuan seluruh kerabat, aku yang dititip menanggungjawabi adikku selagi kedua orangtuaku mengurusnya sampai ia sehat, selagi aku juga menyaksikan teman-temanku melanjutkan pendidikan di kaala kecintaanku belajar terputus juga. Belum lagi lampiasan tak sadarnya kedua orangtuaku yang lelah badan dan lelah hati pasti ke aku dan adikku, dan kami belajar maklum untuk itu.

Itu pun di dalam kebercelaan abangku kepada kedua orangtuaku, dialah yang paling dan selalu dibanggakan oleh kedua orangtuaku, dan kakakku. Mereka berdua yang paling punya andil besar menentukan bahagia dan sedihnya kedua orangtuaku. Aku yang mati-matian mau menghibur orangtuaku atas sedih mereka terhadap dua tetua itu, diabaikan, tidak begitu berpengaruh. Sedih mereka atas tetua lebih besar daripada bahagia yang bisa aku dan adikku tawarkan. Aku sempat iri dan dengki. (Ya, tentu saja ini semua adalah bagian dari perjalanan pendewasaan masing-masing. Aku pun tidak paham sudut pandang mereka, dan kedua abang kakakku dan aku dan adikku semakin bertumbuh dalam pendewasaan yang baik. Keburukan mereka yang aku lihat dan keburukanku yang melihat mereka seperti itu, itu cerita yang dulu.)

Dan di penghujung momen, aku menemukan teladanku ternyata malah menjadi beban bagi adikku. Ia takut tidak bisa sepertiku yang katanya selalu dibanggakan dan jadi bahan perbandingan bagi adikku. Aku menyesal dan merasa tidak seharusnya jadi begini. Aku juga sempat berpikir menemukan rumah yang sudah jenuh saat agak lama aku tidak pulang sejak keasyikan di dunia kampus. Bagaikan secangkir teh, semakin ke bawah semakin menemukan bubuk teh yang mengendap. Aku menyaksikan kasih sayang yang tersisa, kesabaran yang tersisa, pengendalian diri yang tersisa, ruang hati yang tersisa yang adikku dapatkan dari stressnya orangtuaku memperjuangkan keempat anaknya ini. Sampai aku memberangkatkan adikku kuliah di luar provinsi seperti kedua abang kakak terdahulu. Syukurlah, adikku dapat berangkat dan jalani yang ia mau dan mampu.

Di sinilah cerita ini baru dimulai. Tersisa orangtuaku di rumah. Mereka saling menyakiti, saling menhadapi keburukan masing-masing secara langsung tanpa diperantarai atau disebar ke kami lagi. Aku kira pada saat itu mereka hanya sudah terlanjur sibuk menghidupi kami hingga lupa bagaimana caranya hidup berdua lagi. Sejak inilah tinggal aku yang menyaksikan orang yang aku panut dan aku paling sayang saling menyakiti dan disakiti. Begitu banyak cerita terungkap olehku, aku terlebih tersakiti atas itu.

Kekecewaan atas ekspektasi, tercorengnya nama mereka yang sebagai sebagai panutanku, menyadarkanku bahwa mereka berdua adalah manusia. Mereka bukan Tuhan, bukan juga malaikat. Ayah dan Ibuku adalah manusia yang dalam ketidaksempurnaannya berjuang yang terbaik untuk kami berempat. Mereka dengan sudut pandang mereka. Mereka tidak cukup paham sudut pandangku sebagaimana aku pun tidak cukup paham sudut pandang mereka yang membangun bahtera kehidupan ini, yang menahkodai kapal ini di tengah ombak hidup ini.

Jika Ayah adalah nahkoda dalam kapal, ia yang merekrut siapa wanita tepat yang akan menjadi pendampingnya, co-nahkoda yang menemani dan kepercayaan dalam menyetir kapal, anak-anak adalah awak kapal yang siap di bawah layar kapal. Kebayang jika nahkoda dan co-nahkoda rebutan setir atau tidak satu tujuan, kebayang kalau awak kapal tidak mau sepaham turut kemana nahkoda dan co-nahkoda perintahkan, kebayang kalau sesama awak kapal tidak saling rasa dan saling bantu mengelola kapal, kebayang satu tim kapal yang lebih kuat menaklukan badai dan ombak laut atau yang saling terpecah ditaklukan badai dan ombak laut.

Aku banyak belajar mengenai pernikahan, mengenai keluarga, mengenai berpasangan, mengenai persaudaraan di satu tahun ini. Ada begitu banyak latar belakang dan sejarah yang ibuku bawa sepanjang hidupnya dan yang ayahku bawa sepanjang hidupnya hingga mereka saling bertemu dan memutuskan bersama dalam satu kapal membangun dan membentuk tim pejuang laut. Sebanyak itu pula ketidaksempurnaan, kesalahan orangtua mereka, kesalahan orang-orang yang menyakiti dan memahitkan mereka akan dunia yang mereka bawa masing-masing. Kesalahan bawaan. Itu yang aku dapatkan di antara kami. Maka keputusan awak kapal untuk ikut menanggung dan menetralkan kepahitan itu, memutus tali pahit dan rela untuk menjadi baru, ditebus, dikoyak-koyak, membendung rapat-rapat sampai di kita saja. Jangan sampai tali pahit ini tersambung di generasi berikutnya.

Pada akhirnya sumber kasih sayang bukanlah keluarga kita karena mereka adalah manusia juga diri kita sendiri yang adalah manusia juga. Jika kita menuhankan keluarga yang adalah manusia, kekecewaaan akan menghampiri cepat atau lambat. Kasih manusia terbatas, kebutuhan kita akan kasih tidak pernah dipuaskan oleh keluarga. Kita yang haus kasih sulit untuk mengasihi. Kita yang kelaparan sulit untuk memberi orang makan.

Sumber kasih hanya dari Sang Pencipta yang hadir dalam teman-temanku, yang hadir dalam keluargaku pula. Kasih-Nya yang tak terbatas membuatku selalu kenyang yang memampukanku untuk terus mencoba mengenyangkan pula. Aku dikasihi maka aku mampu mengasihi. Aku diampuni maka aku mampu mengampuni. Manusia mana yang bisa? Jika kau bertanya, Tuhanku yang membisakan aku.

Kini aku percaya, semua anggota sedang melakukan seluruh kapasitasnya, melakukan yang terbaik dari dirinya. Cukup. Tidak ada lagi yang harus dituntut dan menuntut. Percaya bahwa semua kita hanya perlu menghormati dan mengasihi bukan berekspektasi, berusaha berbenah dan memperbaiki diri bukan menyalahkan dan menuntut yang lain. Kalau salah seorang anggota tidak baik, evaluasi apa yang salah di aku sehingga ia begitu bukan evaluasi apa yang salah di dia sehingga aku begini.

Kita mengasihi keluarga bukan karena kita sedarah dengan mereka. Kita mengasihi keluarga karena mereka adalah orang-orang yang dipercayakan kepada kita. Jika kita merasa keluarga kita gelap dan tawar, mengecewakan dan merasa tidak beruntung, justru itu kau dilahirkan di tengah-tengah mereka, menjadi terang dan garam, menghadirkan Tuhan sebagai sumber air hidup yang tak terbatas bagi keluarga yang adalah manusia yang terbatas. Sumber kasih didalam-Nya tidak terbatas. Mata air itulah kunci dalam kasih yang tidak berkesudahan.

Jika nahkoda dan co-nahkoda sakit, ini waktunya awak kapalnya yang merawat mereka hingga sembuh. Pertahanan kapal bukan hanya tanggung jawab nahkoda dan co-nahkoda. Pertahanan kapal adalah tanggung jawab semua penghuni kapal.

Ulang tahun pernikahan bukan tentang mereka berdua, tapi tentang kami berenam.




Selamat ulang tahun untuk kami berenam!










Post a Comment

0 Comments