Tentang Luka

Semua orang punya luka. Tidak ada kehidupan yang sempurna jika kau tadinya sempat dan pernah, atau sedang cemburu dengan tawa dan kehidupan yang dimiliki insan lain.

Jadi apakah kesempurnaan itu benar-benar ada? Ada!

Kesempurnaan ada ketika kita berdamai, menerima dan memeluk, bersyukur tiada ampun atas ketidaksempurnaan hidup kita. Karena sejatinya memang tidak ada yang sesempurna itu, tidak ada yang perlu disesali dari hidup kita. Itu yang terbaik sudah. Maka kutegaskan pula: begitu juga milik orang lain, jika kita masih iri.

Aku teringat dengan kalimat “Penyesalan selalu datang terlambat”. Kalimat itu benar-benar menempel di kepalaku oleh seorang bapak guru bahasa inggris paling jenaka dan penyayang saat aku duduk di kelas 5 SD dulu. Sir Mandala, kami memanggilnya. Semoga beliau tetap sehat dan terus jenaka seperti dulu.


Foto oleh Luis Quintero dari Pexels
Jika saja kita tahu bahwa datang terlambat membuat kita di drop-out, memakan jajanan di luar sekolah bisa membuat kita diopname karena tipus, memakai jatah absen kuliah oleh dosen ini mengakibatkan kita tidak lulus di mata kuliah ini dan harus memperbaikinya di semester depan. Jika saja kita tahu rokok menyebabkan kecanduan yang mempengaruhi kesehatan anak perempuannya di masa depan, memilih jurusan ini membuat kita menjalani kuliah dan masa depan yang tidak seharusnya, segan menegur pemotong rambut saat mengerjakan rambut kita mengakibatkan penyesalan luar biasa sampai tumbuh panjang lagi, membangkang dan bebal memegang prinsip sendiri membuat ibu kita menangis dalam doa, dilahirkannya kita ternyata menimbulkan kematian ibu kita yang seharusnya keluarga kita tidak akan sehancur ini. 

Kalaulah kita tahu orang yang mengelabui kita barusan adalah penipu yang menguras seluruh uang di rekening, tidak menggosok gigi malam membuat kita menderita sakit gigi dan merusak seluruh aktivitas, membasuh botol minum baru dengan air panas dengan konsisi tertutup membuatnya meleleh rusak dan tidak bisa dipakai bahkan untuk sekali saja. Andai saja kita tahu jika menyebrang tanpa melamun dapat menyelamatkan nyawa kita, mendengarkan curhatnya hingga habis dapat mencegah terjadinya bunuh dir sobat kita, dengan tidak bersahabat dengannya tidak akan tumbuh cinta terlarang dalam hati. Andaikan saja kita tahu tiang listrik di sebrang jalan akan menimpa tepat di atas kita beberapa detik kemudian, menaruh dompet di tas terluar membuatnya hilang diambil perampok sialan, menaruh ponsel di kantong saat berkendara mengakibatkan ponsel yang dipenuhi memori penting rusak dilindas roda kendaraan lain.

Pasti kita tidak akan membiarkan itu semua terjadi.

Atau bahkan kita sesungguhnya tahu, tapi tidak “tahu”.
Sesuatu harus terjadi terlambat agar kita “tahu”. Itu satu-satunya cara yang diizinkan terjadi pada tiap kita. Itu adalah akibat yang harus kita tanggung. Bahkan, untuk beberapa kasus, sebuah penyesalan tidak cukup untuk membuatnya menyesal. Jangan heran ia pun dihantam terus tanpa ampun dengan sesuatu yang harus dia tanggung, yang dia tidak suka itu.

Namun ada hal-hal yang terjadi yang memang di luar kendali. Sepenuhnya bukan kesalahan kita sama sekali dan tidak semuanya harus dijustifikasi antara salah dan benar. Ada hal-hal yang itu harus terjadi, harus ditanggung, padahal bukan karena kita dan tidak harus kita. Tapi itu harus terjadi di kita.

Perasaan terkutuk, perasaan sial, nasib buruk, apapun itu, sebenarnya kita terpilih. Kita dipilih untuk menanggung itu karena kita adalah kesayangan pemilik semesta, yang dijadikan sebagai pahlawan yang menjadi sumber pengaruh dari satu manusia ke manusia lain seperti titik-titik yang yang saling terhubung oleh garis yang berasal dari kita. Sampai kita menyadari tangan-Nya yang menggerakkan kita ke sana ke mari hingga kita berdiri di sini. Sampai kita menyadari bahwa kita diberi pengalaman ini dan itu untuk sesuatu yang sangat besar di depan. Sampai kita menyadari hal luar biasa ini untuk membantu orang lainnya terus berjuang sampai menemukan kesadaran serupa.

Seperti sebuah gelas yang diisi penuh untuk memenuhi kekosongan gelas lain hingga si gelas itu menyadari ternyata selama ini air di dalamnya tidak kunjung surut. Ia lebih daripada penerima yang memberi, ia telah dijadikan sumber air yang mengalir tiada habis untuk menjadikan gelas lainnya bukan penerima melainkan sebagai pemberi yang juga adalah sumber air lainnya.

LUKA YANG SEMBUH

Seperti menyadari luka yang entah darimana karena apa, ternyata sudah mengucur darah saja (pernah kan?), kadang kita juga pernah menemukan diri kita terluka (bukan secara fisik) entah dari mana dan kenapa. Atau bahkan kita masih belum sadar bahwa kita sedang terluka dan merasa baik-baik saja, entahlah. Aku tadinya adalah gadis terluka yang kebingungan dari mana luka itu berasal.

Aku sadar ternyata terluka: ketika semakin menemukan dan menyaksikan secara langsung orang-orang terluka dan keheranan sampai-sampai aku pun mau mengecek diriku sendiri. Bukan langsung tersimpulkan “Iya, aku terluka”, aku menemukan satu demi satu keanehan kemudian membandingkan dengan orang lain dan menyimpulkan “Ada yang aneh denganku”. Jadi alurnya agak lucu, membandingkan, keheranan dan cari tahu, “Kalau aku gimana?”, membandingkan diri, keheranan dan cari tahu mengenai diri dengan membandingkan ke orang lain lagi. Seperti lingkaran anti nyamuk bakar.

Aku tahu cara kerja relasi kita dengan sesama dan Tuhan yang kita yakini secara leksikal dan pengalaman otentik maupun yang tidak. Bagaimana mengidentifikasi dan menjalankan kasih seorang yang mengasihi dirinya sendiri (self-love) yang diungkapkan kepada keluarga (filia), yang kepada teman (storge), yang kepada lawan jenis (eros), dan kasih Tuhan (agape) tak terbatas yang manusia tidak bisa melakukannya –kasih yang menyempurnakan ketiga kasih sebelumnya yang manusia bisa lakukan dengan ketidaksempurnaanya. Tapi aku tidak “tahu”.

Hampir gila, aku mengorek, merenung, mencari-cari di mana luka yang kupunya berasal. Aku yang tetap menjadi teman, berusaha menjadi pasangan dalam diam tapi dipatahkan dan dijadikan teman, aku yang nyaman untuk terus berteman dengan semua orang sampai teman-temanku berpasangan dan aku bukan lagi prioritasnya sebagai teman, aku berteman yang tidak berteman.

Sempat ada kesimpulan tidak ada teman yang benar-benar teman kecuali adalah teman hidupnya. Aku kira aku punya banyak teman hidup (storge), tapi tidak. Semakin paham mendefenisikan teman hidup, teman hidup adalah kasih lawan jenis (eros) yang disempurnakan oleh kasih Tuhan (agape). Itu pun bahkan defenisi pertemanan hidup yang aku bangun dan kagumi dari kedua orang tuaku, diluluh lantakkan oleh pernikahan mereka yang untuk sekian kalinya aku saksikan secara langsung kandas dan terlunta lagi. Semakin aku hampir tidak percaya ada agape di dalam eros. Aku semakin tidak suka eros.

Hari Kasih Sayang

Aku belum pernah “pacaran”. Ewh, bahkan aku tidak suka mendengar istilah itu tercipta dan tertulis pada KBBI. Pacaran itu bersyarat, jahat, munafik, bodoh, menggelikan. Tidak seperti teman yang tidak bersyarat, membebaskan, saling mengobati sayap masing-masing untuk terbang, tulus tak berkesudahan. Lagian teman hidup itu juga pakai istilah “teman” bukan “pacar” hidup. Pikiranku pernah sekonyol itu memang.

Jadi, ya, naifnya, pakai 5 whys, thinking tools kenapa atas jawaban kenapa, terkuak aku punya luka yang terluka dilukai lagi di bagian yang sama (kalau bayangin luka fisik udah tetanusan lah).

Sampai kelas 1 SD di Bandar Lampung pertemananku baik dan ideal. Pindah lintas provinsi, dengan keadaaan yang tidak siap meninggalkan pertemanan yang sudah ada, kelas 2 SD aku tidak suka sama sekali pertemanan yang “anarkis” di Sumatera Utara. Aku tumbuh menjadi anak yang penyendiri, tetap berteman namun tidak lebih dari 5 orang. Mungkin karena hal itu juga aku sempat di-bully seperti disiram sebotol air dari atas kepala, dikejar-kejar untuk dicubit (aku dulu comel dan putih seperti bakpao).

Kelas 3 SD, ada mutasi kelas, aku semakin berdamai dan membuka diri. Kelas 4 SD aku malah di-bully lagi oleh temanku sendiri setelah membangun persahabatan yang asik dengan mereka. Aku pun tidak yakin eros dikenali oleh anak SD, tapi ada beberapa anak yang menyukaiku, hm. Bully-nya itu bentuknya seperti saat kau (bila pernah) tersudut, terzalimi secara verbal di angkot. Kalau aku mengingatnya sekarang, hampir tidak mungkin guru di kelas tidak melihat anak-anak bandal ini menggangguku. Kembali ke “andai aku tahu” seperti kalimat pembuka tadi, andai ibu guru tahu pengabaiannya pada nakalnya murid SD-nya mempengaruhi karakter muridnya yang satu lagi, ia pasti menyesal. Sampai suatu saat sudah kelewatan, mereka mau cium pipiku, aku menusuk pipi temanku dengan pulpen (iya berdarah). Si ibu guru yang aku tidak mau sebut namanya, di saat seperti ini baru dia acuh, aku dipanggil, ditanya kenapa melakukan itu. Aku diam (seperti biasa) dan malah aku yang dimarahi. Si anak bandal itu malah tertawa di belakangku. Tahu begitu kubunuh saja sekalian tadi.

Kekelaman itu usai. Dari kelas 5 SD aku menjalani pertemanan yang baik. Kelas 1 SMA ketika eros sudah diyakini terdefenisi sebagai cinta monyet mulai dimengerti, aku menyukai sahabatku sendiri begitu juga dengannya (eciyee). Singkatnya, ia tidak begitu berani menyatakan perasaan di momen yang telah disiapkan sahabatnya yang lain yang adalah sahabatku juga dan malah melarikan diri.. secara permanen. Sejak itu kami saling menolak diri untuk bertemu muka, apalagi berbicara. Andai kami tidak saling menyadari saling jatuh cinta (hiyy), pasti persahabatan kami tidak runtuh. Aku patah hati karena persahabatan kami patah, aku tidak terlalu menyayangkan kami tidak jadi pacaran padahal. Sayang sekali bung.

Jujur itu sangat traumatis. Tak usahlah cengeng kalau patah pacar, patah sahabat itu lebih menyakitkan we! Kemudian di umur 17an, aku dikecewakan oleh abangku yang adalah perlindungan batinku. Hampir sembuh, aku malah dikecewakan oleh ayahku yang adalah teladanku, begitu pun ibuku.

Tetanus positif.

Kini berumur 22, didukung oleh teman-teman (storge), agape itu ada bagi setiap relasi yang mau menerima dan memberi, yang mau dihadirkan dan menghadirkan kasih itu. Oke, mungkin aku hanya tidak perlu sekeras itu pada diriku sendiri. Bukan Tuhan yang tidak ada, tapi bisa jadi orang tuaku atau aku yang tidak mau menghadirkan dan dihadirkan Tuhan yang menunggu di depan pintu hati kita untuk dibuka dan dipersilakan masuk. Yah, aku memberi diri untuk dipulihkan.. sehingga pemikiran pada subbab awal tulisan ini dapat tercetus dan aku bagikan.

Aku menyinggung kisah cintaku (yang diartikan secara luas) pada Celoteh Ngoceh tidak di 14 Februari seperti tahun-tahun sebelumnya karena aku mengasihimu di hari ini, hari- hari yang tidak perlu menunggu tanggal tertentu untuk merayakannya. Cinta secara luas, kasih, mendefenisikan keseluruhan hidup kita, bagaimana sebagai makhluk sosial berinteraksi dan berelasi dengan Tuhannya, dengan sesamanya dan dengan dirinya. Kasih adalah cara kita berelasi.

Yuk, kamu pun merayakan hidupmu setiap harinya tidak menunggu tanggal lahirmu dan merayakan kehidupan sobatmu setiap harinya tidak perlu menunggu tanggal lahirnya. siapa yang tahu hari esok? Lakukan saja yang terbaik hari ini.

Sekarang aku sadar aku kesulitan mendefenisikan kasih, aku terluka oleh karena apa. Maka sekarang bisa dengan tepat bagaimana menghadapi luka itu. Walau luka tidak akan hilang dan akan berbekas, tapi luka bisa disembuhkan. Dan ketika kita menerima kenyataan luka itu ada pada kita, kita akan menyayanginya, merawatnya dari kondisi bercucuran mungkin, basah, hingga ke tahap yang bernanah dan gemas untuk digaruk untuk dilukai lagi, sampai ia tertutupi kulit baru dan menyatu dengan kulit sehat sekitarnya.

Bekas luka adalah bukti perjalanan dan perjuangan menuju kesembuhan. Itu tidak memalukan sebab kita adalah manusia di bawah tangan-Nya. Kita dilukai untuk dikuatkan yang kemudian menguatkan. Seperti lingkaran obat nyamuk bakar.




Apapun jenis luka yang ada padamu: GeWeEs!











Post a Comment

0 Comments