Resep Rahasia Paradoks


Kosakata Bahasa Indonesia yang sering ditemui namun tidak familiar pada bahasa sehari- hari; paradoks, anomali, dan dikotomi, semoga nantinya tidak lagi asing.

Sumber gambar: entrepreneur.com

pa.ra.doks
  • pernyataan yang seolah-olah bertentangan (berlawanan) dengan pendapat umum atau kebenaran, tetapi kenyataannya mengandung kebenaran; bersifat paradoks
ano.ma.li
  1. tidak seperti yang pernah ada; penyimpangan dari yang sudah ada
  2. a Ling penyimpangan atau kelainan, dipandang dari sudut konvensi gramatikal atau semantis suatu bahasa
  3. a Tek penyimpangan dari keseragaman sifat fisik, sering menjadi perhatian eksplorasi (misalnya anomali waktu-lintas, anomali magnetik)
di.ko.to.mi
  • pembagian atas dua kelompok yang saling bertentangan
Tanpa latar belakang empiris, ketiga kosakata tersebut menjadi konsep berpikir andalan yang penulis Celoteh Ngoceh gunakan, khususnya pada kanal Paradoks. Konsep berpikir terbalik selalu manjur untuk berpikir dari sudut pandang yang lain –sudut pandang yang tak kasat mata namun mengandung kebenaran –yang seringnya terlewat oleh masyarakat. (ya, setidaknya demikian menurut penulis hehe)

Menyajikan sudut pandang dari olah pikir kritis yang tidak umum bisa menjadi hal unik yang dapat dikonsumsi pembaca dalam memahami lingkungan sosialnya. Jika warganet (pembaca) tidak kepikiran atau tidak sempat memikirkan, maka di sini peran penulis; memberikan hasil pemikiran yang cenderung tidak kepikir atau tidak sempat kepikir pada masyarakat umumnya, yang tentu saja diharapkan bermanfaat bagi pembaca. Ibarat meminjamkan mata, pembaca diberi kesempatan untuk melihat yang penulis berhasil lihat duluan.

Pun bukan maksudnya yang dilihat itu hanya disadari pertama sekali oleh penulis, tapi berusaha untuk melihat apa yang telah dilihat oleh lingkungannya yang jarang terungkap dan menjadi perpanjangan mata kepada yang lain agar lebih mawas diri tanpa membeberkan si pemilik mata. Dan alih- alih mengarahkan lampu sorot kepada pemilik otentik sudut pandang itu, ketika penulis berhasil ikut mengalami pengalaman itu, adalah kesempatan terbaik untuk merayakan dan memenangkan setiap orang. Bukan euforia kosong, terlebih menginterpretasi dan memberikan apresiasi pada titik kuat setiap tokoh yang kemudian bisa jadi pelajaran bersama bagi setiap orang yang terlibat dalam satu tulisan, baik penulis maupun pembaca.

Layaknya penelitian sosial dengan jubah lain, penulis “harus” memiliki empati. Dalam rangka memberikan solusi sudah seharusnya mengetahui sumber masalahnya. Untuk memperoleh sumber masalahnya, tentu bukan dengan mencari- cari masalah, yang diperlu adalah Merasa.

Sebuah tulisan akan kentara terlihat ‘maksa’ atau alamiah, juga sebuah solusi akan terlihat ‘menambah masalah’ atau meringankan masalah. Ini juga merupakan tanggung jawab yang tidak boleh dianggap enteng.

KLISE VS RELEVAN

Empati bisa menjadi kata yang klise sekaligus relevan, tergantung darimana mau memahaminya. Mari saja kita posisikan diri terhadap amanat yang klise dan amanat yang relevan. Akan menjadi klise kalau pesannya semua orang bisa bilang, berdasarkan asumsi, atau menghakimi si yang butuh pengertian dan akan menjadi relevan kalau pesannya berasal dari orang yang ikut mengalami, berdasarkan sudut pandang pihak yang kita tuju, atau menerima keadan teman kita yang butuh kehadiran kita.

Diperingatkan, ini bukan strategi. Ini adalah empati, bagaimana kita memosisikan diri pada posisi orang lain sebagaimana kita ingin diposisikan oleh orang lain, bagaimana kita percaya seseorang melakukan yang terbaik dari dirinya sebagaimana kita ingin dipercaya telah melakukan yang terbaik dari diri kita. “Compassion” itu yang membedakan kodrat manusia dengan makhluk lain –Kasih sayang yang diperkuat dengan akal budi, melahirkan upaya untuk berbuat.

Nah, kalau terasa seberat itu, kembali saja posisikan diri. Jika kita yang butuh kehadiran orang lain (tidak sebatas fisik), benarkah kita membutuhkan perbuatan se-berbuat itu dari orang lain? Bahkan terkadang yang kita butuhkan adalah sepasang telinga tanpa mulut, bukan? Ingin didengar tanpa penilaian apalagi penghakiman. Penerimaan dan rasa percaya (trust), cukup. Demikian pula sebuah tulisan, membuka diri dan menunjukkan kesederhanaan pengalaman serupa, bahkan pengakuan bahwa kita tidak pernah bisa memosisikan diri pada posisi suatu pihak juga merupakan keterbukaan untuk menerima orang lain. Ini adalah pernyataan pertemanan.

Jujur dan tulus –Jangan sampai jadi kata sifat yang kian langka dari lingkungan urban kita.

KRITIS + EMPATI = NIAT

Apakah kritis dahulu maka jadi empati atau empati duluan kemudian menjadi kritis tidak menjadi masalah, sama halnya apakah opini berangkat dari fakta atau fakta dicari setelah dari opini, atau apakah dari niat dulu lalu berusaha kritis dan empati atau berangkat dari kritis dan empati kemudian jadi niat. Kalau niatnya baik, ya baik. Kalau kedua elemennya (kritis dan empati; opini dan fakta) digunakan melengkapi masing- masing cela, ya baik.

Okeh, balik ke topik Paradoks, Anomali, dan Dikotomi. Berbeda dengan konsep subjektif dimana kita melihat yang kita lihat dan melihat yang orang lain lihat (baca: Hidup dalam Kotak), ketiga konsep ini merupakan konsep berpikir yang menyimpang. Di saat konsep umum menawarkan penulis untuk mengikuti jalan yang ada, opsi yang ditawarkan adalah pindah jalur untuk memahami jalan yang lain. Sedangkan pada konsep menyimpang tersebut, penulis malah diajak berpikir dari luar jalan yang ada!

Ini nih yang penulis pahami mengenai istilah “Berpikir dari luar kotak” melihat yang iya dan yang tidak, memandang yang benar dan yang salah, merasakan yang kiri dan yang kanan. Semuanya tanpa memihak, netral di tengah. Makanya, dengan tanpa menolak pentingnya kesepakatan, kalau saya rasa sih, adanya perdebatan atau kontroversi adalah ciri perbedaan sudut pandang yang sehat. Dan itu wajar. Makanya sama juga seperti negara, ada yang koalisi juga ada yang oposisi, itu sehat. (Ehm, begitukah?)

Demikian pula konsep pada kontestasi debat, yang pro maupun kontra sama- sama maju memperkuat sudut pandangnya masing- masing: sepakat untuk tidak sepakat. Maka dengan visualisasi ini, penulis adalah penonton keduanya, memahami sisi benar dan salah setiap pihak tanpa membenarkan dan mempersalahkan. Karena yang benar adalah salah, dan yang salah adalah benar. Jiaaaaah

Dengan cara mengelompokkan yang kanan dan kiri (mendikotomi), penulis mengamati masing- masing karakteristiknya. Kanan dan kiri ini memiliki jembatan, namanya anomali. Maka setelah itu temukan penghubungnya (anomali), setelah itu munculkan ke permukaan paradoksnya (kebenaran dari pernyataan yang saling bertentangan).

Lagi- lagi ini bukan berurutan, terkadang penulis menemukan paradoks dulu lalu dikotomi dan anomali atau anomali dulu lalu dikotomi dan paradoks. Tidak masalah. Malah, seringnya ketika sudah terbiasa, ketiganya kontras namun lebur dalam sebuah fenomena tanpa harus dipisah- pisah.

Begitulah. Tulisan ini pun sama belum tentu benar dan salahnya. 
Silakan dipetik yang ingin dipetik saja.




Punya saran, pendapat, atau sanggahan? Mari, dengan senang hati kolom komentar di bawah dipersilakan untuk kita semua.




Post a Comment

0 Comments