Aku Introvert

Foto oleh Retha Ferguson dari Pexels


Menjadi seorang introvert kadang malah menjadi momok, perasaan ketidakberuntungan bagi penyandangnya. Lingkungan menuntut kita untuk selalu berani berpendapat, berani tampil, cakap berteman, cakap membawa suasana. Hal-hal yang sangat sulit bagi kita yang adalah seorang introvert. Bahkan beberapa orang merasa lelah untuk menjadi dirnya sendiri yang introvert ini. Memiliki perasaan ingin dimengerti, sebagaimana manusia sebagai makhluk sosial, namun tidak mampu, tidak nyaman, dan merasa tidak aman untuk menyampaikan perasaannya ataupun mengungkapkan pemikirannya kepada orang lain. Ia adalah makhluk sosial yang tidak sosial. Hasrat membutuhkan orang lain tapi tidak bisa berinteraksi dengan baik kepada orang lain. Ingin tapi tidak pas dengan cara yang tersedia untuk memenuhi kodratnya sebagai manusia ini.

Beberapa teman yang introvert mengeluhkan ketidakcakapannya dalam berkomunikasi, padahal sangat ingin berkomunikasi dengan baik. Ada juga yang mengeluh atas segala anggapan orang lain yang tidak tepat pada dirinya, pe-label-an adalah hal yang tidak disuka. Juga ada yang memiliki kemampuan dan keterampilan dalam suatu hal namun selalu ada tembok yang membatasi dirinya untuk mengaktualisasi diri. Selalu dirundung rasa kecemasan, suka berasumsi, suka berpikir, semuanya itu jadi tertahan di dalam dirinya saja. Dirinya ingin melangkah maju, dirinya juga yang menahan agar tidak bergerak.

Aku yakinkan, menjadi seorang introvert sama sekali bukan kesalahan. Introvert tidak seburuk itu.



Jadi, selama ini apa yang salah dari seorang introvert? Apa yang seharusnya dilakukan?

1.       Penerimaan diri melalui pemahaman diri

Pengakuan diri yang rendah, bahkan penolakan mentah- mentah akan diri adalah akar segala permasalahan dalam menjadi seorang introvert. Ketika orang lain saja tidak memikirkannya sama sekali, kita sudah terlebih menyalahkan dan menjatuhkan diri ke jurang terdalam. Kita sama sekali tidak bangga menjadi diri sendiri. Rendah apresiasi. Kamu saja tidak sayang pada diri sendiri, konon orang lain.

Semua orang diciptakan berharga dan unik oleh Sang Pencipta. We are the masterpiece of God. Jika kita adalah introvert pemikir, kenapa tidak memilih menjadi pemikir solusi daripada pemikir masalah. Jika kita adalah orang yang suka membuat konsep baru dan suka berasumsi, kenapa kita tidak lebih memilih untuk menciptakan konsep berpikir baru dalam menyelesaikan masalah dan berasumsi baik daripada menciptakan masalah dan mencintai asumsi untuk tenggelam dalam tragedi yang belum tentu benar ada.

Kesalahan dasar beberapa dari kita adalah: mencintai tragedi. Berpikir berlebihan akan diri sendiri sehingga aura kita itu jadinya murung atau bahkan penggerutu, gelap, tidak menyenangkan sama sekali. Ini malah mempersulit kita dalam pertemanan kita. Dengan respon teman yang tidak baik karena kitanya yang tidak baik, kita berasumsi lagi bahwa kita buruk. Kita semakin murung, semakin buruk. Hidup jadi buruk. Membentuk lingkaran yang tidak ada habisnya.

Pola pikir ini terjadi, saya simpulkan sendiri karena kurangnya pemahaman diri. Kita heran dan menyalahkan sifat kita yang membatasi kita dalam bertindak tanpa memahami dari mana asalnya sifat itu. Sekonyong- konyong sifat dan kepribadian yang kita miliki ini adalah sebuah kutukan, tiba- tiba jatuh dari langit hinggap ke diri kita. Menjelajah masa lalu, menelaah satu- satu adalah cara terbaik dalam memahami diri sehingga pada ujungnya kita dapat menerima diri sendiri, menyayangi diri sendiri.

2.       Penempatan diri

Setelah kita mengenali, memahami, dan menerima diri, hal yang dilakukan selanjutnya adalah menempatkan diri. Penguasaan atas kondisi lingkungan membantu kita dalam menganalisa dimana seharusnya posisi kita berdiri agar kita dapat memberi nilai terbaik dari diri kita.

Dalam pencarian posisi berdiri, bukan maksudnya kita mencari zona nyaman kita dalam lingkungan. Sama sekali bukan. Justru yang kita usahakan cari adalah posisi dimana kita bisa mengaktualisasi, memberi seluruh aspek diri untuk membawa kebaikan dan nilai terbaik bagi lingkungan kita. Ini adalah pencarian guna kita sebagai manusia. Visi hidup.

Setelah mengenali karakteristik situasi dan kondisi lingkungan dimana kita berada, kenali karakteristik pribadi kita. Apa kelemahan kita, apa kelebihan kita, apa yang dapat kita berdayakan dan apa yang menjadi hambatan kita dalam rangka menjadi diri sendiri.

3.       Pengembangan diri

Setelah mengenali dan menguasai situasi dan kondisi lingkungan kita berada, telah mendapatkan dimana posisi terbaik untuk mengaktualisasi diri, waktunya bagi kita untuk mengembangkan diri. Ibarat tunas yang sudah tahu di tanah mana yang terbaik untuk kita tempatkan, kini saatnya kita menyiramnya agar bertumbuh dan akhirnya menghasilkan buah manis yang berguna bagi lingkungan. Setelah mengetahui guna kita, kita mengembangkan diri untuk memberi guna tersebut bagi sesama.

Tahap ini merupakan tahap yang paling menantang. Di tahap inilah kita mulai memberanikan diri untuk menembus batas ketakutan kita menjadi titik terang di kegelapan yang membutuhkan terang kita. Bersiap- siap untuk menjadi dampak. Yang seyogianya kita ingat, bahwa kita yang adalah introvert ini merasa sangat tidak aman kan saat menjadi perhatian orang. Namun saat kita menyadari nilai dan visi kita dalam membawa guna, satu- satunya jalan agar orang lain menerima dampak kita, mereka harus melihat dampak yang kita bawa, yang berarti juga melihat kita si pembawa dampak.

Terlebih daripada itu, sesungguhnya bukan kita yang ditampakkan saat ingin menampakkan dampak. Apapun agama kita, Tuhan yang sedang kita bawa untuk dilihat. Kita yang membawa mau tidak mau menjadi terlihat. Karena kita adalah badan yang menerima nilai kebaikan dan nilai kebenaran itu, yang sedang dipakai, diutus untuk menyebarkannya kepada orang lain.

Ibarat pertumbuhan pohon. Awalnya hanya sbiji benih, hanya mengandung sifat- sifat bawaan. Kemudian tumbuh menjadi kecambah atau tunas, biji yang mengandung sifat telah bertumbuh menjadi tunas atau kecambah yang dipengaruhi lingkungan, itulah sifat dari asuhan, pembentukan kepribadian kita saat ini. Dikenali tanahnya yang mana yang sesuai dengan kondisi tunas atau kecambah ini, iklim mana yang tepat, dan lingkungan mana yang membutuhkan tunas atau kecambah ini kelak. Kemudian akhirnya siap untuk bertumbuh lebih lagi menjadi pohon yang kokoh yang nantinya menghasilkan buah yang berguna bagi lingkungan. Buah yang lebih dari satu, yang masing- masing buahnya memilki banyak biji benih, yang mengandung sifat bawaan yang baik pula.

Benih yang tadinya cuma satu, berbuah banyak. Dan tidak hanya sampai disitu, buah itu memiliki benih lainnya. Benih yang sangat banyak. Benih yang baik berasal dari buah yang baik. Buah yang baik berasal dari pohon yang baik. Sungguh pun kita adalah benih yang tidak cukup baik atau kecambah yang tidak cukup sehat. Pemilihan tanah, iklim , dan perlakuan yag tepat akan memperbaikinya, bertumbuh menjadi pohon yang semoga baik.



Baca Juga:

Siap menjadi introvert yang berdampak?







Post a Comment

2 Comments

  1. gimana kalau saya seorang introvert, tetapi seluruh orang di lingkungan saya menganggap saya ekstrovert karena pembawaan saya yang ceria, padahal sebenarnya saya merasakan semua keresahan yg dialami introvert, sehingga saya makin merasa tidak memiliki kesempatan untuk dimengerti org lain, semakin terintimidasi menanggung keresahan saya sendiri. trims.

    ReplyDelete
  2. Yass kamu gak sendiri. Itulah yang perlu diketahui bahwa sebenarnya sifat introversi itu bukan hanya ada pada orang introvert, semua orang memiliki sifat introversi hanya saja dengan kadar yang berbeda- beda. Yang perlu diketahui: kita tidak bisa menyimpulkan atas apa yang terlihat saja.

    Terkait keresahan kakak.. Apa yang kita bisa harapkan dari teman- teman yang selalu melihat kita ceria? Mari kembalikan, kalau kita melihat seorang teman yang ketawa- ketiwi apa kita prihatin dan menanyakan keadaannya? Aksi = reaksi.

    Saya juga bukan orang yang suka menunjukkan kesedihan. Tidak seharusnya kita menuntut teman untuk mengetahui bahwa kita sedih saat kita tidak menunjukkan kesedihan itu. Itu konsekuensi atas apa yang kita perbuat.

    Saran: jujur pada perasaan, setidaknya kepada teman terdekat, teman yang kita nyaman untuk bercerita.
    Teringat film "Inside Out". Kita manusia yang membutuhkan orang lain. Setiap emosi itu diperlukan (ceria, sedih, marah, takut, jijik) sebagai bahasa untuk mengkomunikasikan apa yang kita rasa dan yang kita butuh kepada orang lain, bahkan komunikasi kepada diri sendiri.

    ReplyDelete