Sumber Gambar:pixabay.com |
Terakhir kali Celoteh Ngoceh membahas perihal kasih dan
asmara itu tepat setahun yang lalu (baca: Cinta Melihat dengan Jelas). Dan kini tibalah saatnya kita membahas
topik ini lagi. Yes! Berikut adalah pemikiran yang penulis pelajari dan pahami
mengenai kasih sepanjang tahun ini. Perhatian: pemikiran ini bukan sebuah
penghakiman kepada pembaca, justru merupakan sebuah penilaian dan penghakiman
si penulis kepada dirinya sendiri yang di masa lalu. Oh, iya, judul
terinspirasi dari lagu Letto – Kasih Tak Memilih.
Apa Salahnya Menjadi Seorang Yang “Terlalu Baik”?
Saya adalah salah satu orang yang pernah pada pemikiran
dangkal tersebut. “Kamu terlalu baik buat akuh,” adalah pernyataan yang
diberikan seseorang yang belum seserius lawan bicaranya mengenai penjalinan
sebuah hubungan. Kalau gebetanmu mengucapkan pernyataan tersebut, saya sarankan
relakan saja. Dia belum sama padannya denganmu, belum memiliki visi yang sama
denganmu, kecuali kamu ingin menunggu? Terserah.
Pernyataan (memalukan) itu pernah saya ucapkan ketika di
bangku SMA kepada seorang pria yang lebih tua 5 tahun dari saya. Seorang gadis
SMA yang tidak familiar dengan konsep berpasangan, asyik dengan lingkungan
pertemanan, ceria dan baik kepada semua orang termasuk kepada pria yang
merupakan kakak tingkatnya tersebut sama sekali tidak menyangka, pada akhirnya,
pria tersebut merespon perilaku tulusnya dengan perasaan yang melampaui
dugaannya.
Sang pria yang baik hati dan pemberani ini terus melakukan
upaya pendekatan yang terang, tidak bermaksud namun berhasil mengusik kehidupan
si gadis belia itu. Sehingga pada titik paling tidak terkendalinya dengan
gangguan itu si gadis memohon supaya si pria berhenti dan mengatakan pernyataan
lagnat itu, “Kamu terlalu baik buat akuh”.
Saya yang barangkali kini seumuran dengan umur pria
pemberani pada masa itu, kini mengerti dan memberi apresiasi tertinggi padanya
sebagai Pria Pemberani. Selamat!
Perkataan itu terucap sesungguhnya bukan karena si pengucap
itu menginginkan pasangan yang tidak terlalu baik. Memahami diri saya yang dulu,
bisa disimpulkan maksud dari pernyataan tersebut adalah “Aku heran kamu bisa
bertahan dan setia untuk selalu menjadi pria yang baik, tidak
peduli aku yang selalu mencoba berperilaku tidak baik kepadamu agar kamu pergi.
Namun kamu tidak pergi. Aku tidak tahu lagi apa yang harus kulakukan agar kamu
menjauh,” sehingga kemudian terucaplah “Kamu terlalu baik buat akuh”. Kalau mau
ditelisik, sesungguhnya pria dengan karakter seperti itulah yang dibutuhkan
dunia.
Alasan kejadian ini terjadi adalah: konsep pemahaman akan
menjalin sebuah hubungan si gadis belum semumpuni si pria.
Kepada para pejuang cinta, aku tekankan MENJADI BAIK ADALAH
PILIHAN TERBAIK. Tetap jadi dirimu yang begini, jangan mau jadi buruk hanya
untuk memenuhi kebutuhan “pasar”, jangan jadi sedih hanya karena sang pujaan
hati tidak ingin kamu jadi seorang yang terlalu baik. Aksi = reaksi. Jika reaksinya
tidak menyambut aksimu, simpel, berarti bukan dia. Biar semesta bekerja, semoga
kamu dipertemukan pasangan yang bereaksi baik terhadap aksimu yang baik pula.
Apa Salahnya Menjadi Seorang yang “Baik Kepada Semua Orang”?
Judgement “baik kepada semua orang” adalah jahat adalah
justru yang terjahat :”)
Lingkungan berteman saya heterogen, laki- laki atau
perempuan, minat bakat yang berbeda- beda. Tentang politik aku berbagi seru
dengan A yang juga concern terhadap hal itu, tentang musik berbagi seru dengan
B, tentang sastra dengan C, tentang cinta dengan D. Seperti itu. Saya single
(ehem) justru mungkin karena hatiku selalu penuh. Ada banyak kasih yang Tuhan
izinkan untuk saya rasakan. Hatiku yang berbunga- bunga melihat anggrek tumbuh
besar dan mekar, tertawa melihat kucing kos yang rakus, Benji, anjing peliharaan
kami yang lucu, sayang dan tertawa bersama teman- teman sepermainan, luluh
kagum dan sayang kepada adik- adik di kampus maupun adikku yang di rumah,
terharu dengan nada- nada yang saya tidak sengaja mengarangnya saat bermain alat
musik, terpukau akan wawasan baru dari buku yang saya baca, dan lain- lain. Alasan
saya berlaku baik sesederhana karena saya bersyukur menerima kehidupan yang
baik dan saya rasa semua orang berhak untuk menyadari bahwa kehidupannya juga
baik.
Beberapa bulan terakhir saya cukup intens dan menyadari dikelilingi
oleh teman- teman yang juga memiliki kasih yang tulus dan terbuka untuk
berteman kepada semua orang, sama- sama yang dedikasi bertemannya murni tanpa
harapan dan tujuan yang istimewa. Yang saya rasa inilah pertemanan yang
istimewa. Terakhir ini saya jadi bisa berkaca diri, oh kira- kira beginilah
orang memandangku yang seru berteman. Yang barangkali bagi mereka yang tidak
berteman sehetero ini bisa menganggap bahwa kami adalah orang- orang di luar
jangkauan, yang juga barangkali gebetan kami merasa tidak spesial dan mundur.
Barangkali, siapa tahu?
Saya tegaskan: Meskipun orang- orang yang pergaulannya
heterogen berbuat baik kepada semua orang, akan selalu ada satu orang yang
paling istimewa di hatinya, satu di antara objek kasihnya. Walaupun kasusnya
seringkali agak sulit bagi orang jenis ini memperlakukan dan menunjukkan
perbedaan perasaannya kepada yang disukainya itu dan agak sulit pula bagi yang
disukainya itu untuk menyadari bahwa dirinya sedang diistimewakan.
Namun saya bisa bilang walaupun kami baik kepada semua orang,
jika kamu disukai, jangan harap kamu akan diperlakukan terlebih baik dari
temannya yang lain karena prinsip kasih yang kami anut bukan sekonyong seperti
itu, tidak transaksional. Namun satu yang spesial dari kamu adalah kamulah orang
yang menjadi alasan utama kami untuk selalu berbuat baik kepada semua orang
sesederhana kami yang sangat bersyukur ada kamu di dalam hidup kami.
Cara menunjukkannya saya juga kurang tahu sebaiknya seperti
apa ya, mungkin karena posisinya adalah saya yang perempuan. Kepada kamu yang
berbuat baik kepada semua orang, laki- laki, bolehlah agak diinjak gasnya
dikit- dikit supaya sampai ke tujuan.
Menjalin Hubungan Itu Wajib?
Terakhir saya menyadari, kita berpasangan bukan sekadar
supaya menempati ruang kosong dalam hati. Pasangan, teman seperjalanan itu
perlu untuk menjalankan visi hidup bersama.
Seorang perempuan yang memutuskan untuk tidak menikah karena
panggilan hidupnya untuk mengasuh dan membesarkan keponakannya yang piatu
adalah salah satu contoh yang aku sodorkan. Untuk memenuhi visi itu, sudah menjadi
pilihan dia single adalah keputusan yang paling tepat. Tujuan hidupnya tercapai
dengan cara itu.
Ada juga seorang yang memutuskan untuk mengasuh banyak anak-
anak yang kurang beruntung, dia bertemu dengan pasangan hidupnya yang juga
memiliki visi hidup yang sama. Sepakat untuk tidak beketurunan dan mengasuh,
memperbaiki kehidupan anak- anak lain.
Ada juga seorang yang memutuskan untuk berpasangan, komitmen
dalam pernikahan, membangun bahtera rumah tangga sebagai sebuah gereja (gereja
bukanlah gedungnya) atau sebagai sebuah umat untuk melahirkan generasi, anak-
anak ilahi, menangkap sebuah visi yang diajarkan oleh agama kita masing-
masing.
Saya menyadari kita yang bertumbuh dalam kehidupan rohani
kita (apapun agamanya) tidak lagi tertawan dengan pemahaman dangkal akan sebuah
hubungan; lahir- bertumbuh- sekolah- kuliah- kerja- menikah- punya anak- cucu-
meninggal. Melampaui dari pada itu, kehidupan spiritual dan agama melahirkan
pribadi yang lengkap dan tidak berkekurangan lagi karena baginya kehadiran
Allah itu sudah sangat cukup dalam hidupnya. Alasan seorang beriman (apapun
agamanya) berpasangan adalah untuk pemenuhan visi Allah kepada manusia di
dunia. Dua, yang sudah utuh masing- masing, melebur jadi satu yang lebih kuat, bukan setengah melengkapi
setengahnya lagi jadi satu.
Kembali lagi, jadi kalau memang visinya membawa nilai
kebaikan Allah dengan tidak menikah demi membesarkan keponakannya atau memilih
hidup membiara gak salah sih. Seringnya stereotip dan penghakiman masyarakat
karena pemahaman budaya yang subjektif merusak tatanan yang ada, justru. Saya
hanya berkata bahwa semua orang memiliki pilihannya masing- masing, caranya
masing- masing dalam pemenuhan visinya untuk memenuhi tujuannya hidup.
Menjalin hubungan adalah salah satu cara, bukan satu-
satunya cara.
Kita Tidak Berhak Melarang Orang Untuk Menyukai
Saya, hati saya selalu penuh dan bahagia walaupun karena
sebab yang kecil, karena benda mati atau binatang kecil sekalipun. Namun saya
menyadari butuh seorang pasangan sebagai teman seperjalanan. Selama ini saya
juga pernah beberapa kali membangun sebuah hubungan, yang belum pernah berhasil
hingga akhir. Pernah berhasil dekat dengan gebetan yang sudah lama dikagumi,
pernah dekat dengan sahabat lama, pernah beberapa kali membangun hubungan
dengan yang berbeda keyakinan juga, pernah beberapa kali saling berusaha
membangun hubungan dengan sahabat sendiri juga.
Satu hal yang saya DULU agak sensian, menolak keras orang-
orang yang cepat memutuskan untuk menyukai orang lain. Kok bisa dia secepat itu
memutuskan untuk suka. Dia aja belum kenal aku. Aku aja belum menunjukkan
keseluruhan kepribadianku. So pasti karena penampilan. Dari mata doang, bukan
itu yang aku butuhkan. Tetot, bukan anda. Bagaimana bisa suka sama orang, dekat
aja belum. Begitulah.
Hingga terakhir ini saya sempat dekat dengan seorang yang
baru saya kenal. Saling kenal karena bertemu saat sedang penjalanan visi yang
sama, saling tertarik sehingga sama- sama nge-gas untuk saling mengenal lebih
jauh. Ceritanya dari visi turun ke hati. Eh ternyata punya minat dan bakat yang sama, nyambung. Terakhir tidak
melanjut dan tersirat saling sepakat menjadi teman saja, sama- sama mundur dan
tidak segetol untuk saling bertemu seperti kemarin- kemarin karena beberapa
kepribadian yang kurang sepadan. Nothing to lose, it’s totally okay. Betul-
betul adalah pengalaman baru, lebih terasa seperti proses PDKT yang “normal”. Akhirnya.
Di titik ini saya memetik dan akhirnya sepakat bahwa:
- Sebaiknya kita berpasangan dengan orang yang visi hidupnya (agamanya) sama untuk mencapai tujuan hidup yang sama.
- Orang menyukai orang lain dengan cepat bukan hanya karena menilai dengan mata, melainkan karena tertarik dengan halaman pertama dan ingin membaca halaman berikutnya untuk mengetahui akhir cerita. Maka semua orang berhak untuk menyukai.
- Ada orang yang di tahap pacaran untuk saling mengenal dan memahami, ada orang yang di tahap sebelum pacaran justru saling mengenal dan meamahami lalu nantinya memutuskan berpacaran untuk tindak lanjut ke pernikahan, dan ada orang yang tidak sekaku pacaran sebagai tahap untuk menjalin hubungan melainkan terus saling memahami dan saling mendoakan hingga akhirnya mengajukan tawaran permohonan menjadi teman seperjalanan dalam hidup.
- Orang memiliki pemahamannya masing- masing terkait nomor 3, tidak usah dipaksa atau dituntut. Jalani saja visimu, jalani saja nilai- nilai baik, ajaran- ajaran baik, aksi = reaksi. Tidak perlu diperdebatkan. Tidak perlu mengambil bagian Allah. Jalankan bagian kita, hasil akan mengikuti. Berusaha dan berdoa.
Semangat, Kakaa!
2 Comments
aku tipe orang yang baperan...
ReplyDeletedan itu terjadi ketika ngebaca ini. sesekali berkaca ke diri sendiri, bener gak ya aku kadang seperti ini.
huft,
Gak jauh beda kita, bang. Yes, ada kawanku!
Delete