Dari Dulu Sudah Begini



Aku dan kamu adalah individu yang hakikatnya makhluk sosial. Maka bisa jadi sebuah persoalan ketika konsep kebaikan individu itu tidak terlalu cocok dengan konsep kebaikan yang dianut oleh masyarakat tempat ia berada.

Sering kali kita mematok mana yang salah dan yang benar hanya berdasarkan apa yang biasa orang sudah lakukan. Contoh: Apakah menggunakan celana sebetis di kampus itu hal yang salah? Ada beberapa orang menilai itu dengan menghubungkannya dengan dampak. Jika melakukan hal yang dipertanyakan itu dan tidak dihukum, maka tidak salah, dan sebaliknya. Contoh lain: Apakah mengimbuhi percakapan dengan kata kotor itu salah? Lagi- lagi kita sering memetik jawabannya berdasarkan dampak dari apa yang biasa orang lakukan. Jika dicoba dan tidak berdampak buruk berarti itu benar, dan sebaliknya. 

Setiap lingkungan mempunyai kebiasaan yang berbeda, tentu saja. A mengimbuhi kata kotor di setiap kalimatnya, lingkungannya tidak mempermasalahkan itu, malah dengan demikian secara psikologis lawan bicaranya merasa nyaman karena dianggap sebagai bagian dari lingkungannya, kedekatan informal. Namun ketika B melakukan itu di lingkungannya, ia segera ditatap nanar oleh lingkungannya seakan itu adalah hal yang tidak patut dilakukan, hukuman informal.

Oke, mungkin jawabannya: Sama seperti perbedaan cara berpakaian pada negara barat dan negara timur, cara berbicara masyarakat di Solo dengan masyarakat di Medan, anggapan mana yang benar dan mana yang salah berbeda- beda, tergantung lingkungan dimana kita berada. 

Bagaimana jika A mempunyai dua lingkungan tempat ia berinteraksi, memiliki anggapan yang saling bertolak belakang? Mungkin untuk sementara A akan bingung mana sebenarnya yang benar- benar Benar. Mungkin kemudian A tidak akan mempermasalahkannya, ia mengerti konsep norma masyarakat dan melaksanakan pepatah “Di mana kaki berpijak, di situ langit dijunjung”. Mungkin juga kemudian A paham secara subjektif memutuskan dalam diri norma lingkungan mana yang dianggap benar, lalu gusar dengan lingkungannya yang satu lagi, yang dianggap ternyata tidak benar. Outputnya dua: Menjadi bunglon atau tetap menjadi jangkrik di antara belalang.

Toleransi dan Cara Interaksi di Tengah Keberagaman

Di Yogyakarta, kota pelajar, keragamannya tinggi, banyak pendatang. Sudah seperti Indonesia kecil. Kerabat aku yang sesama asal Medan cenderung jago beradaptasi. Bersama kami menggunakan logat asal. Lalu seketika temannya dari Irian datang menghampiri, seketika itu juga ia menyesuaikan logatnya dengan lawan bicaranya. Kakakku juga demikian, Ia kuliah di Jawa Tengah. Kami sedang bertelepon ria dengan logat kami, kemudian temannya menghampiri, dan seketika itu juga dia menyesuaikan logat bicaranya. Kemudian ia kembali lagi menyambung bicara denganku, kembali juga menggunakan logat semula.

Dari contoh kondisi tersebut, di Yogya sebagai kota tengah. Antara orang yang berasal dari Medan maupun yang berasal dari Irian sama- sama di kota orang (bukan daerahnya), sedangkan di Semarang, kakakku bertegur sapa dengan orang yang memang domisili Jawa Tengah. Di Semarang, dia menggunakan prinsip adaptasi “Di mana kaki berpijak, di situ langit dijunjung”. Maka itu sudah jelas dan bukan menjadi bahan berpikir lagi. Nah, bagaimana dengan situasi Yogya tadi?

Kita bisa amati bahwa kerabatku memutuskan menjadi bunglon dan sobatnya dari Irian memutuskan tetap menjadi jangkrik di antara belalang. Dia menyesuaikan diri, sedangkan sobatnya menjadi subjek yang kepadanya orang menyesuaikan diri. Keduanya sama- sama benar, hanya soal pilihan. Perihal toleransi, 2 pilihan yang telah dipaparkan adalah baik dan tidak melanggar norma apapun. Pokoknya sama- sama sopan dan saling menghargai.

Membenarkan yang Biasa, Membiasakan yang Benar

Namun jika kita kembali kepada situasi celana sebetis di kampus dan situasi berkata kotor di pertemanan, lalu kita diperhadapkan dengan dua lingkungan interaksi yang berbeda, bagaimana? Jika sebuah situasi serupa dialami oleh seorang Individu, dua lingkungan yang dimilikinya berada di populasi kota yang sama namun di komunitas teman yang berbeda, bagaimana?

Lagi- lagi, ini kembali kepada pilihan kita. Gak aci justifikasi; Mau jadi Bunglon, Si Jago Adaptasi atau jadi Jangkrik di antara belalang yang tetap tegas jadi diri sendiri, mau jadi yang menyesuaikan atau jadi orang yang disesuaikan.

Coba dengan analogi yang begini:
X orangnya konsisten menjadi orang yang tidak pernah cakap kotor, ia dibesarkan di keluarga yang mengekspresikan kemarahan sekalipun bukan dengan bekata kotor yang tak senonoh. Y adalah orang yang biasa di lingkungan akrab, yang memang berkata kotor bukan maksud kotor, namun hanya ekspresi keakraban saja. Lalu X berada di lingkungan Y. Y tetap menjadi dirinya sendiri namun secara naluriah ia cenderung menjaga pemilihan katanya saat berhadapan dengan X sebagai bentuk sikap menghargai. Fenomena yang saya temukan, kekonsistenan ini yang membawa pengaruh tertentu, cenderung membawa nilai yang tegas kepada lingkungannya. Sungguh pun X tidak berharap supaya Y menyesuaikan diri, X tetap nyaman dengan dirinya dan karakter yang dianggapnya memang baik, ia tidak terganggu dengan kebiasaan lingkungan barunya. Bentuk penghargaan tertinggi X adalah: Ia tetap tidak menjustifikasi Y sama sekali, karena X sadar setiap orang berhak atas dirinya masing- masing. Ia menerima Y apa adanya, dan tidak memaksakan lingkungannya memegang nilai yang diterapkan pada dirinya, namun tetap konsisten dengan nilai yang dianggapnya benar. Adalah sebuah bonus kalau misalnya Y ikutan tidak berkata kotor lagi.


Nah, aku kembalikan. Hayoo, mau membenarkan yang biasa atau membiasakan yang benar?

  

Post a Comment

0 Comments