Polemik mengenai transportasi online sudah reda. Namun apa
permasalahan sudah selesai?
Saya seorang mahasiswi di Medan, telah beralih dari
transportasi konvensional ke transportasi online sejak 2016. Sebelum
berdomisili di Medan, saya tinggal di rumah orangtua di Pematangsiantar, sebuah
kota persinggahan antara Medan dan Parapat, Danau Toba. Sebuah kota yang tidak
besar, akses transportasi konvensional yang mudah dan memadai. Saya adalah
pengguna setia transportasi konvensional alias angkutan kota pada saat itu
hingga pada akhirnya berdomisili di kota Medan.
Di Medan, jarak tempat tinggal saya dan kampus kira- kira 700
meter, biasa ditempuh dengan berjalan kaki atau menggunakan bus lintas kampus.
Nah, jika hendak pergi ke tempat- tempat luar kampus, angkutan umum dapat
diakses 1 km dari tempat saya tinggal. Untuk menempuh jarak itu, alternatif
selain berjalan kaki adalah Becak dan Transportasi online, mengingat saya tidak
memiliki kendaraan pribadi.
Tarif angkutan kota di Medan dihitung dengan perkiraan
jarak, tidak pasti. Dengan berdasarkan pengalaman pribadi dan pengetahuan
sosial saya, jarak tempuh 10 km, berikan selembar lima ribu rupiah kepada Pak
Supir, beliau menerimanya tanpa protes. Lain hal jika saya memberikan selembar
sepuluh ribu rupiah beliau akan mengembalikannya dengan 2 lembar uang dua ribu
rupiah. Bahkan pernah dikembalikan hanya selembar dua ribu rupiah! Beliau tidak
keberatan ketika kita protes karena dikenakan tarif delapan ribu rupiah, ia
akan menambah dua ribu lagi uang kembaliannya. Namun, bila kita menempuh jarak 2
- 5 km, Pak Supir akan keberatan jika menerima tiga ribu rupiah sebagai
ongkosnya. Penetapan tarif angkutan kota Medan tidak proporsional namun tetap
tergolong ekonomis. Intinya dalam pemberian ongkos angkutan kota Medan, kita
harus bijak- bijak, namun jangan terlalu oportunis.
Jadi kalau saya hendak bepergian ke luar kampus, kalau mau
naik angkot, saya harus menempuh 1 km dulu. Naik becak, lima ribu rupiah, naik
transportasi online alias ojek online (ojol) tiga ribu rupiah. Sambung dengan
angkot, minimal tiga ribu rupiah. Dengan demikian terakumulasi Becak + Angkot
minimal Rp8000,- sedangkan Ojol + Angkot minimal Rp 6000 Rupiah. Boros waktu,
tenaga dan materi. Perjalanan jauh lebih efisien dengan naik ojol saja,
langsung dari pintu kos hingga lokasi tujuan dengan tarif minimal Rp5000. Jarak
0 – 7 km saya menggunakan ojol, Jarak >7 km saya mengandalkan ojol + angkot.
Sempurna.
Demikian adalah cerita di Medan, kota terbesar ke-4 di
Indonesia. Lain cerita di Pematangsiantar, kota asal saya. Akses angkot mudah
dan rute yang cukup lengkap. Palingan kalau lokasi tujuan agak- agak masuk gang
tidak lebih dari 500 m. Masih bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Tapi
kenyataannya tidak demikian. Adik saya dan siswa- siswa lainnya ternyata merasa
lebih baik mengeluarkan tambahan Rp3000 dibandingkan harus berjalan kaki hingga
500m. Dari rumah, kami harus menempuh 500m jalan kaki + Angkot Rp3000. Tarif
angkot Pematangsiantar bersifat tetap. Jauh atau dekat, anak- anak/ siswa
dikenakan Rp2000, Dewasa Rp4000. Mahasiswa? Bijak- bijak Rp3000. Hehehe, sejauh
ini kedua belah pihak sama- sama sepakat tersirat.
KENAPA HARUS ANGKOT?
Ketika kita terlena dengan kemudahan transportasi online,
kita lupa nikmatnya pengalaman menaiki transportasi konvensional, cara lama
yang kian terlupa. Secara objektif, perilaku konsumen di era ini masih bisa
dianggap wajar dan tidak salah.
Penggunaan transportasi online Vs transportasi
konvensional didasarkan pada pertimbangan biaya (uang/ waktu/ materi) yang
dikorbankan dan manfaat yang diperoleh.
Coba untuk melambat. Di dunia yang kian urban dewasa ini nampaknya
semua serba buru- buru. Menatap hal besar lurus ke depan, melewati hal kecil
kiri- kanan yang seringnya justru lebih berharga. Di hari libur sudah menjadi
kebiasaan saya untuk berenang pagi di kolam renang umum. “Naik ojol aja sih,
Chik. Langsung nyampe,” ujar ayahku yang khawatir saya berjalan kaki sendiri. Tapi
tidak, aku tidak merasa lelah dan repot dengan berjalan kaki. Maka aku
melanjutkannya.
500m berjalan kaki dengan terpapar matahari pagi sungguh
menyenangkan. Dengan mengenakan kaos, celana tanggung, dan sandal jepit, aku
melangkah dengan tidak terburu- buru. Sambil sesekali tersenyum atau menyapa
beberapa tetangga dan kerabat yang saling lewat, sesekali geli dengan perilaku
lucu orang lain yang dilewati, bahkan sesekali berpikir mengkritisi sesuatu
yang terlihat mengesalkan di jalan. Tiba di trotoar jalan besar, sesekali
menggeleng pada angkot yang menepi dan mengulurkan tangan untuk memanggil
angkot tujuan untuk menepi. Naik dengan sedikit menunduk, menyapu pandangan
cela kursi yang dapat diduduki, duduk dengan nyaman memangku tas, menatap anak
sekolah yang sedang panik karena sudah jam terlambat sekolah, ibu- ibu yang
hendak ke pasar. “Pinggir, ya, Pak,” seruku pada Pak Supir, turun, menyerahkan
ongkos, Pak Supir tersenyum mengucap terima kasih, saya pun ikut tersenyum
pula. Sungguh energy positif yang membahagiakan!
Pulangnya pun demikian, berjalan 200m. Melihat aktivitas
wirausaha orang- orang, ia yang melayani pelanggan, ia yang sedang mencari
kebutuhan, ia yang sedang menjajakan koran, ia yang sedang sarapan sambal baca
koran. Lalu berhenti sejenak, memanggil angkot tujuan, naik. Melewati pasar
tradisional di tengah kota. Ibu- ibu yang membawa belanjaan menaiki angkot yang
sama, angkot melaju dan beberapa ibu- ibu lainnya menaiki angkot lagi. Saya
belajar banyak. Ibu berambut keriting melihat tomat yang mengintip di plastik
belanjaan Ibu yang berjilbab.
“Udah berapa harga tomat, Bu?”
“Wah, lagi mahal, Bu. (sekian) ribu”
“Is iyaya. Ini pun tadi beli ayam potong sekilo saja
(sekian) ribu”
Wow, fluktuatif. Percakapan akrab antara ibu- ibu yang
bertemu di angkot berlanjut. Riset pasar dan sosial yang saya amati pun
berlanjut.
Kemudian ibu- ibu yang baru saja mendaftarkan anak- anaknya
sekolah menyambut tahun ajaran baru naik angkot ini. Lewat sekolah berikutnya,
yang lain naik lagi. Naik lagi. Si Ibu A baru memasukkan kartu ATMnya ke dompet
seraya memandang saya yang duduk di sampingnya, “Biasa.. Mamak- mamak bayar
uang sekolah anak- anak ini,” “Hehehe, iya, Bu.”
Lalu Ibu yang lain nyeletuk, “Bisa ya, Eda narik (uang)
sendiri. Kalau aku, anakku kusuruh. Gak ngerti- ngerti pun aku micit-
micitnya.”
“Santai aja, Bu. Aku pun dulu gitunya. Sekarang udah bisa,
karena takut salahnya kita gugup. Lagian ada Pak Satpamnya kok, bisa dibantuin
cara nariknya.”
“Ah, sama aja. Kurasa makin tua ini makin susah kita nangkap
kan.”
“Iyaya. Kurasa pun gitu, Da. Lihatlah anak- anak itu ngetik
hempon pun lincah kali. Aku diajari ber-WA pun lama baru ngerti ini”
Saya pun menjadi pemerhati yang setia. Menyenangkan mendengarkan
percakapan mereka.
“Bank apa, Bu?” Kata Ibu lainnya, bergabung.
“AAA, Bu,” ujarnya tersenyum. Seketika ibu- ibu suku Batak
yang saling memanggil “Eda” jadi saling memanggil Ibu bersama Ibu yang bersuku Jawa.
“Bukannya itu biaya adminnya mahal ya?”
“Ah itu dia, Bu. Mungkin Ibu pilih jenis tabungan yang itu.
Yang itu memang adminnya mahal. Kalau mau daftar bilang ke CS nya jenis
tabungan ini, Bu, Gratis.”
“Masa iya?”
“Iya memang, Bu. Cuma kitanya cuma bisa narik 3 kali aja
sebulan. Kalau lebih kenak Cas.”
“Oalaaa.. Iyaya. Ah gabisalah, aku sering narik soalnya
haha. Dulu pun aku di bank AAA itu. Sekarang Di BBB.”
Ibu yang satu lagi nyeletuk, “Kalau aku, Bu, dua rekening di
Bank BBB dan CCC. Untuk nabung uang yang penting di CCC, jarang ditarik. Untuk yang
sering ditarik di AAA. Bunganya pun lumayan, bisa dipindah- pindah.”
“Ha.. Itu pun bagus. Atau deposito aja sekalian, Bu. Entar
dapat sekian persen lumayan.”
“Iya, kan minimal simpanannya gak kecil, Bu. Awak pun masih
hepot sama pengeluaran anak- anak ini.”
Lalu mereka tertawa saling menimpali lucu- lucuan satire.
Saya berpikir ternyata pengetahuan keuangan inklusif Ibu- Ibu yang belum
percaya diri dengan mesin ATM ini bisa dibilang cukup mumpuni sebagai
masyarakat sipil biasa. Dari percakapan ini saya mengasumsikan Ibu- Ibu ini
tidak sungkan bertanya di CS bank demi mendapatkan layanan keuangan yang
menguntungkan bagi keuangan rumah tangga mereka. Atau kemungkinan lainnya bisa
jadi pihak bank yang juga menawarkan layanan keuangan yang ada kepada nasabahnya.
Kemudian entah bagaimana, mereka membahas layanan bank AAA, BBB, CCC yang
ramah, dan yang sangat cuek mengesalkan, perbedaan pengalaman menjadi nasabah
di bank negara dan bank swasta, hingga sampai moral anak tetangga yang menipu
orangtuanya dalam menarikkan uang di ATM. Tut tuuut.. percapakannya seperti
kereta api.
Sobat, meski narasi saya seperti cerpen, saya pastikan ini
adalah pengalaman nyata yang saya alami, sama sekali bukan fiktif belaka.
Transportasi Umum/ Konvensional memungkinkan kita untuk saling lebih
berinteraksi atau setidaknya menyaksikan interaksi sesama masyarakat umum.
Transportasi umum menawarkan pengalaman dan perspektif yang sangat berharga.
Belum lagi saya bercerita
bagaimana Bapak di kursi depan saling berbicang dengan Pak Supir, beropini
tentang carut marut politik, pemerintahan tingkat desa hingga pusat.
Menakjubkan.
2 Comments
di siantar pun ojol udah ada. saya pernah naik ojol karena belum ada kendaraan saat itu,
ReplyDeletekalau angkot saya akui sih di siantar tarifnya terjangkau, paling mahal Rp 4k. tapi angkot di siantar ga sampai malam
Yap. Benar bang. Terimakasih infonya, Bang :D
Delete