Untung kita lahir
di jaman internet. Ngerjain tugas gampang, cari sumber di mesin pencari,
cermati postingannya, cocok, block, copy,
paste.
Ya bagus dong. Kan
sebelum dicomot kita tetap harus membaca tulisannya apakah ada jawaban dari
persoalan yang dicari tersebut. Jika jawaban bisa disalin dan tempel, kenapa
harus repot- repot mengetik ulang? Jika kalimat dari web tersebut sudah mantap,
kenapa harus repot- repot menyusun kalimatnya ulang? Lagipula Bapak/ Ibu yang
memeriksa ini tidak akan membacanya tiap kata, apalagi mengecek orisinalitas
tiap bagiannya di google.
Yang penting yang
diminta untuk dikerjakan telah kita selesaikan dan kumpulkan dengan baik.
Tunggu. Apa iya,
yang penting cuma sebatas itu?
PLAGIARISME YANG MENYEHARI
Dengan upaya etika
dan anti plagiarisme, kita seringnya comot sana- sini dari berbagai sumber,
terus cantumin sumbernya di daftar pustaka. Informasi berbagai sumber itu
disambung- sambungin rapi dan runtut jadi kesatuannya dapat, tanpa kalimat kita
sekali pun. Paling tinggal tambahin kalimat penghubung saja. Persis seperti UU
Hak Cipta Pasal 44 berikut ini:
“Penggunaan, pengambilan, penggandaan, dan/atau
pengubahan suatu ciptaan dan/atau produk hak terkait secara seluruh atau
sebagian yang substansial tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta jika
sumbernya disebutkan atau dicantumkan secara lengkap untuk keperluan: (a)
pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan,
penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dengan tidak merugikan kepentingan
yang wajar dari pencipta atau pemegang hak cipta; (b) dst…”
Inilah
pandangan yang harus diluruskan kembali. Menurut Felicia Utorodewo, dkk, pada
bukunya yang bertajuk “Bahasa Indonesia: Sebuah Pengantar Penulisan Ilmiah”,
yang termasuk sebagai tindakan plagiarisme adalah:
- Mengakui tulisan orang lain sebagai tulisan sendiri
- Mengakui gagasan orang lain sebagai pemikiran sendiri
- Mengakui karya kelompok sebagai kepunyaan atau hasil sendiri
- Menyajikan tulisan yang sama dalam kesempatan yang berbeda tanpa menyebutkan asal- usulnya
- Meringkas dan memparafrasekan (mengutip tak langsung) tanpa menyebutkan sumbernya
- Meringkas dan memparafrasekan dengan menyebut sumbernya, tetapi rangkaian kalimat dan pilihan katanya masih terlalu sama dengan sumbernya
Nah,
poin nomor 1 sampai 5 sudah umum kita ketahui. Mari perhatikan poin nomor 6.
Tindakan plagiarisme tersebut yang kerap kita lakukan selaku civitas academica.
“Kan yang penting cantumkan sumber.” Sobat, tidak sebatas itu. Jika kita hanya
menghubung- hubungkan gagasan orang lain sebagai karya kita, lalu pemikiran apa
yang telah kita sumbangkan pada karya tersebut? Jika dipikir- pikir lagi, karya
itu lebih tepat disebut sebagai Ringkasan.
Berdasarkan
KBBI, karya berarti pekerjaan, hasil buatan, ciptaan. Dalam menghasilkan sebuah
karya tulis, sebaiknya kita menhadirkan sebuah gagasan yang merupakan ciptaan
kita. Sumber informasi atau referensi gagasan orang lain hanya sebagai
pendukung atau landasan pemikiran orisinal kita.
HENTIKAN BUDAYA COPY-PASTE
Pada
kenyataannya budaya salin dan tempel sudah lumrah di keseharian kita.
Berdasarkan pada UU Hak cipta, selama tidak merugikan orang lain, mengapa
tidak?
Sebetulnya
ini lebih kepada etika dan moral, dan lebih daripada itu.. Harga diri. Nilai-
nilai kemanusiaan yang bermartabat adalah yang menghargai orang lain dan
menjunjung etika. Marilah kita mengaktualisasikan diri kita dengan bertindak
sesuai nilai- nilai luhur yang baik. Lagipula, kita adalah mahasiswa yang
menyandang peran Penelitian pada salah satu Tridharma. Siapa lagi yang
menerapkan dan memberi contoh perilaku peneliti yang baik kalau bukan kita?
0 Comments