Kalau ada budaya jam karet, budaya
terobos antri, atau apapun kebiasaan sesama warga yang mengecewakan hati, sadar
tidak sadar, tak sedikit dari kita yang mengeluh bahwa hal itu “Cuma di
Indonesia”. Pernahkah terpikir merujuk pada apa atau siapakah Indonesia
sebenarnya ketika kita mengeluh?
“Tak usah heran, akan terus begini
selama benderanya Merah Putih”, “Namanya juga Indonesia”, “Selama kaki masih
menginjak tanah Indonesia, jangan harap itu bakal terjadi”. Terdengar pesimis bahkan
terkadang etnosentris ketika seorang warga Indonesia mengeluhkan Indonesia itu
sendiri. Tak bisa dielak keadaan yang sepertinya tidak dapat diubah itu, putus
harapan. Seakan menyarankan lawan bicara kita untuk terima Indonesia begini
adanya. Hal ini adalah juga salah satu budaya buruk di masyarakat kita.
Apanya Indonesia sih yang kita
maksud? Apakah tanah dan airnya, teritorialnya, pemerintahannya, atau warganya?
Sudikah kita mengakui diri kita sendirilah Indonesia itu? Mari refleksi diri
sendiri, apakah kita sudah menjadi warga negara yang baik di Pertiwi ini.
Ketika kita mengeluhkan Indonesia,
sesungguhnya kita memosisikan diri di luar Indonesia dan mengeluhkan segala
yang masih di dalamnya. Atau pada asumsi lainnya, kita memosisikan diri dalam
bagian Indonesia namun karena di luar kendali kita –pasrah. Bayangkan bila
keadaan seperti ini dirasakan bukan hanya oleh diri kita seorang, melainkan
juga setiap individu di luar diri kita. Kalau semua orang mengeluhkan
Indonesia? Indonesianya siapa yang sedang kita keluhkan? Indonesianya siapa
yang bertanggung jawab dalam hal itu?
Benar, secara tidak langsung kita
sepertinya meninggalkan tanah air Indonesia ini sendirian. Lebih tepatnya kita
lepas tangan dari apa Yang Esa karuniakan untuk manusia Indonesia. Tidak
sembarangan hamparan tanah Sabang sampai Merauke ini. Pada pelajaran sejarah
sejak Sekolah Dasar juga sudah dipaparkan betapa favoritnya Indonesia kita di
mata negara penjajah. Ya, Indonesia adalah bintangnya. Itu sebabnya para sekutu
memperebutkan Indonesia dan segala isinya.
Segala jerih payah dan hasrat untuk
bersatu di dalam setiap jiwa manusia Indonesia tahun 1945, pengambilan
keputusan ekstrem para tokoh kemerdekaan, dan keberhasilan seluruh rakyat
Indonesia memperoleh kemerdekaannya adalah indikator bahwa mereka sangat
mencintai Indonesia. Kalau bisa ditanya para mendiang angkatan 1945, mereka
akan lantang menyatakan diri sebagai Indonesia. Bisa kita simpulkan betapa
kentalnya rasa kepemilikan dan kebanggaan akan Indonesia yang dimiliki rakyat-
rakyatnya pada saat itu. Dirgahayu
Indonesia adalah bukti nyatanya.
Rasa cinta tanah air sebaiknya
tidak dibiarkan kian pudar. Hal ini bukan tanggung jawab siapa- siapa kecuali
setiap warga Indonesia. Usahakan dan bangun. Secara tidak sadar, sebagian
generasi muda ‘sibuk’ menggapai cita- cita pribadi, bukan demi kemajuan Indonesia
sama sekali. Ini yang sepantasnya menjadi perhatian bagi kita, Generasi
Penerus.
Kekecewaan terhadap pemerintahan
sekalipun, tidak boleh dijadikan sebagai suatu alasan pembenaran untuk tidak
mencintai Indonesia. Terus terang, setahun terakhir ini kelihatannya Indonesia
sedang rawan dalam isu SARA. Hal ini yang harus disikapi dengan bijak.
Kita tidak bisa membenci dengan
alasan apa pun. Indonesia tidak layak dibenci oleh karena apa pun. Justru
bencilah kepada diri sendiri bila kita terjerumus pada rasa benci itu.
Sesungguhnya para pendahulu kita telah memikirkan matang- matang untuk
memayungi setiap warga Indonesia di dalam kemajemukannya. Ya, payung itu adalah
Pancasila.
Jika kita masih meragukan
keefektifan Pancasila, maka lagi- lagi mari kita tanyakan pada diri sendiri,
Apakah kita sudah menerima nilai- nilai Pancasila? Pancasila bekerja efektif
hanya apabila Pancasila benar- benar berakar pada orientasi religius/ kultural/
nilai rakyat Indonesia, ia mampu mengikat rakyat secara emosional dan
menggerakkan tindakan (Eka Darmaputera, 2001). Bagi Soekarno, jawabannya amat
jelas. Baginya, saripati jiwa Pancasila adalah gotong- royong. Bagi Soeharto,
Pancasila mengejewantahkan prinsip keserasian dan keseimbangan, yang adalah
saripati dari sistem nilai- nilai masyarakat.
“Pancasila memberikan dasar
filosofis bagi terpeliharanya keserasian antara manusia dan masyarakat”1
“Persoalan kita adalah menyerasikan
stabilitas dan dinamika, menyerasikan kebutuhan akan keamanan dan kebutuhan
akan pembangunan yang cepat”2
“Di dalam usaha kita untuk menjabarkan
Pancasila kita harus menyerasikan cita- cita dan kenyataan.”3
Demikian beberapa kutipan oleh Tim
Pembinaan dan Bahan Penataran Pegawai Negeri Republik Indonesia. Sebagai
generasi muda yang bijak, Indonesia adalah kita. Selama agama itu sah, Indonesia
adalah kita yang beraneka agama. Indonesia adalah Islam. Indonesia adalah
Budha. Indonesia adalah Hindu. Indonesia adalah Katolik. Indonesia adalah Kong
Hu Cu. Indonesia adalah Kristen. Bila kita melihat carut marut persoalan
politik yang diracuni isu agama, kita sepantasnya merespon bijak. Kita,
Generasi Penerus sepantasnya saling bergandeng tangan dan mewujudkan revolusi
mental, memutuskan tali permusuhan dan mengikat tali persaudaraan antar agama
karena kita adalah satu!
Daripada mencari- cari alasan untuk
membenci, lebih baik menyadari alasan untuk saling mengasihi. Melangkah
bersama, bertindak untuk mengubah Indonesia yang lebih baik kiranya bukan
sekadar kalimat dan mimpi belaka. Tentu saja tindakan besar dimulai dengan
tindakan- tindakan yang kecil dan sederhana. Untuk memperbaiki negara, dimulai
dengan memperbaiki unit yang paling kecil terlebih dahulu –diri sendiri.
Mengumandangkan hidup rukun dan saling toleransi melalui gaya hidup adalah
langkah konkret untuk Indonesia yang lebih baik. Berhenti mengeluh, mulailah
bertindak!
Kita Indonesia!
Darmaputera, Eka. Pergulatan
Kehadiran Kristen di Indonesia. 2001. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
1 Bahan Referensi Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila,
Undang- Undang Dasar 1945, Garis- Garis Besar Haluan Negara, Tim
Pembinaan Penatar dan Bahan Penataran Pegawai Negeri Republik Indonesia, t.t,
hlm 23.
2 Ibid, hlm.
53.
3 Ibid hlm.
84.
2 Comments
Saya cinta Indonesia. Dan saya prihatin dengan kondisi buruk hidup rakyat Indonesia.. Di dalam al Qur'an dikatakan, "Barang siapa berpaling dari peringatanKu, maka baginya penghidupan yang sempit". Ini yangs saya sadari bahwa muslim di Indonesia lupa bersyukur pada yang Esa, yang udah memerdekaan Indonesia. Muslim lupa pada ajaran Islam yang membawa rahmatan lil alamain bila dijalankan secara keseluruhan. Saya berharap Islam secara utuh bisa dijalankan oleh muslim dimana saja agar Islam bisa membawa kebaikan bagi alam semesta.. ayo bangkit Indonesia..
ReplyDeleteTrimakasih pandangannya kak. Saya harap ini menjadi teguran bersama, termasuk saya.. Saya percaya semua agama membawa kebaikan kak. Maju Indonesia! :D
Delete