Apakah Ayah dan Ibuku Manusia?

Ayah dulu mau pergi ke sekolah harus menempuh 8 km jalan kaki dari rumah. Ibu dulu ingin memiliki kalkulator untuk belajar saja tak mudah. Ayah dulu pulang sekolah harus menjajakan kue dahulu sebelum ke rumah. Ibu dulu tidak ada waktu belajar karena harus mengurus pakaian kotor serumah sejak umur sekolah.

Kemudian kedua tokoh inspirasi tiap orang yang kita sebut dengan orang tua ini, berhasil menafkahi seluruh anggota keluarga mereka; bukan hanya diri sendiri tapi juga seluruh buah hati mereka. Semua cukup makan, punya atap tempat berlindung, mampu membayar lembaga pendidikan untuk anak- anak mereka dengan menyandangkan harapan mulia kepada anak- anaknya seraya memberangkatkannya ke pintu gerbang sekolah.

Kalau dikira- kira, orangtua kita pasti akan hidup jauh lebih bahagia menikmati hidup berdua dengan berlebih- lebih tanpa perlu mengkhawatirkan hari- hari esok bila kita tak dilahirkan. Namun mereka tidak memilih pilihan itu. "Anakkoki do hamoraon di au" Anakkulah kekayaanku, begitu kata Ibuku.


Ibarat Sang Ayah dan Ibu memiliki satu baskom besar yang mereka upayakan untuk selalu terisi air bersih. Anak- anaknya memegang embernya masing- masing yang selalu diisi dengan air bersih dari baskom besar tadi.

Ayah selalu berusaha memperoleh air bersih untuk diisi ke baskom besar. Ibu juga demikian, hanya saja, selain itu beliau punya tugas yang lain, yakni memindahkan air bersih yang diperoleh di baskom besar ke ember anak- anaknya.


Seiring waktu bergulir, mereka semakin renta, Semakin waktu bergulir, ember anak- anaknya semakin besar pula. Ayah dan Ibu semakin keras berusaha memperoleh air bersih. Bahkan saking mendesaknya keperluan air bersih anak- anak, baskom besar ini akhirnya digeser dan rasa- rasanya sudah tak perlu diisi lagi-yang diperoleh langsung diisi ke ember- ember anak- anaknya.

Mulianya, Ayah dan Ibu yang kalau dikata menuntut balas jasa pun tak salah, malahan berkeinginan anaknya menampung air dengan baik saja, itu sudah lebih dari cukup. "Wahai, anak- anak! Jangan lubangi embermu, jangan sia- siakan air dari jerih Orang tuamu! Kalau tak menginginkan air itu, katakan saja supaya tak usah lagi dituang pada embermu, dasar tak tahu diuntung!" 
Bisa jadi begitu kata pertiwi.

Sadarkah? Ayah dan Ibu telah berhasil mengubah nasib. Ayah dan Ibu telah berhasil membendung keadaan hidup mereka yang dulu (yang saya deskripsikan di paragraf pertama) agar tak dirasakan anak- anaknya lagi. Namun mereka kok masih nge-boost, ngotot lebih dan lebih lagi untuk anak- anak mereka. Udah cukup, tahu gak sih?

Belum, belum cukup. Ayah dan Ibu ingin kita bukan sebatas tak seperti mereka, namun juga melampaui mereka!

Saking herannya, sampai- sampai aku meragukan kemanusiaan mereka.
Dan benar saja, Ayah dan Ibu itu bukan manusia.











Ayah dan Ibu.






Mereka adalah malaikat dari Tuhan.








Post a Comment

0 Comments